Leadership (cont..)

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 20, 2010

Kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan bersama. Pembahasan tentang kepemimpinan menyangkut tugas dan gaya kepemimpinan, cara mempengaruhi kelompok, yang mempengaruhi kepemimpinan seseorang.

Tugas Kepemimpinan
Tugas kepemimpinan, leadership function,meliputi dua bidang utama,pekerjaanyang harus diselesaikan dan kekompakan orang yang dipimpinannya. Tugas yang berhubungan dengan pekerjaan disebut task function. Tugsa yang berhubungan dengan pekerjaan perlu agar pekerjaan kelompok dapat diselesaikan dan kelompokm mencapai tujuannya. Tugas yang berhubungan dengan kekompakan kelompok dibutuhkan agar hubungan antar orang yang bekerjasama menyelesaikan kerja itu lancar dan enak jalannya.
Tugas kepemimpinan yang berhubungan dengan kerja kelompok antara lain ;
1. Memulai, initiating; usaha agar kelompok mulai kegiatan atau tugas tertentu.
2. Mengatur, regulating; tindakan untuk mengatur arah dan langkah kegiatan kelompok
3. memberitahu, informing; kegitan memberi informasi,data,fakta dan pendapat kepada para anggota dan meminta mereka dari mereka informasi,data atau pendapat.
4. mendukung, supporting; usaha untuk menerima gagasan,pendapat dari bawah dan menyempurnakannya dengan menambah atau mengurangi untuk penyelesaian tugas bersama.
5. menilai, evaluating; tindakan untuk menguji gagasan yang muncul atau cara kerja yang diambil dengan menunjukkan konsekuensi dan untung-ruginya.
6. menyimpulkan, summarizing; kegiatan untuk menyimpulkan gagasan untuk tindakan lebih lanjut.

Tugas kepemimpinan yang berhubungan dengan kekompakan kelompok antara lain :
1. mendorong, encouraging; bersikap hangat,bersahabat dan menerima orang lain
2. mengungkapkan perasaan, expressing feeling; tindakan menyatakan perasaan terhadap kerja dan kekompakan kelompok seperti rasa puas, senang,bangga,dan ikut sepenangungan seperasaan jika terjadi masalah didalam kelompok
3. mendamaikan, harmonizing; tindakan mendamaikan dan mempertemukan orang-orang yang berbeda pendapat
4. mengalah, compromizing; kemauan untuk mengubah dan menyesuaikan pendapat dengan perasaan orang lain
5. memperlancar, gatekeeping; kesediaan mempermudah keikutsertaan para anggota dalam kelompok, sehingga rela menyumbangkan pendapat.
6. memasang aturan permainan, setting standard; tindakan menyampaikan tata tertib yang membantu kehidupan kelompok

Gaya Kepemimpinan
Berdasarkan dua bidang tugas kepemimpinan, dulu orang hanya mengenal dua gaya kepemimpinan. Pertama gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas,dan yang berorientasi kepaada manusia. Dari dua bidang tersebut,akhir-akhir ini dikembangkan menjadi 4 gaya kepemimpinan dasar,yaitu:

kekompakan tinggi dan kerja rendah
gaya kepemimpinan ini berusaha menjaga hubungan baik,keakraban dan kekompakan kelompok,tetapi kurang memperhatikan unsure tercapainya unsure tujuan kelompok atau penyelesaian tugas bersama. Inilah gaya kepemimpinan dalam perkumpulan social rekreatif,yang sebagian besar ditujukan untuk hubungan antar anggota.
Namun gaya ini dapat cocok dan tepat untuk kelompok yang diwaktu lampau pernah berkembang baik dan efektih, tetapi menghadapi masalah atau situasi yang memacetkan atau melenyapkan semangat anggota. Gaya kepemimpinan ini baik untuk mempengaruhi semangat kelompok dan memotivasi mereka. Gaya kepemimpinan baik juga buat kelompok yang di waktu lampau kurang mempengaruhi pribadi para anggotanya dan terlalu sibuk dengan urusan menyelesaikan masalah atau situasi yang menekan, demi tercapainya tujuan bersama.

Kerja tinggi dan kekompakan rendah
Gaya kepemimpinan yang menekankan penyelesaian tugas dan pencapaian tujuan kelompok. Gaya kepemimpinan ini menampilkan gaya kepemimpinan yang directif. Gaya kepemimpin ini tepat digunakan dalam persaingan dagang yang ketat serta dalam militer.

Kerja tinggi dan kekompakan tinggi
Gaya kepemimpin yang mengutamakan kerja dan kekompakan tinggi baik digunakan dalam pembentukan kelompok. Pemimpin perlu menjadi model untuk kelompok dengan menunjukkan perilaku yang membuat kelompok efektif dan puas. Tujuan yang sebaiknya dicapai adalah membantu kelompok menjadi kelompok yang matang, yang mampu menjalankan kedua tugas kepemimpinan diatas. Gaya kepemimpin ini menjadi tidak cocok dipakai jika tugas dan kekompakan kelompok telah diselesaikan anggota kelompok dengan baik.

Kerja rendah dan kekompakan rendah
Gaya kepemimpinan yang kurang menekankan penyelesaian tugas dan kekompakan kelompok cocok buat kelompok yang telah jelas sasaran dan tujuannya. Gaya kepemimpinan ini merupakan gaya kepemimpinan yang menggairahkan untuk kelompok yang sudah jadi. Gaya kepemimpina ini tidak cocok digunakan kelompok ytang belum jadi. Gaya kepemimpinan ini lemah dan tidak akan menghasilkan apapun.

Cara mempengaruhi kelompok
Diatas sudah dijelaskan bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi orang atau kelompok yang dipimpin.
1. pemimpin menyuruh kelompok, manakala dia sendiri memikirkan perkara,memgambil putusan tentang perkara itu dan memberitaukan kepada orang yang dipimpinnya.
2. pemimpin menjual kepada kelompok orang-orang yang dipimpinanya, manakala dia memikirkan perkara, memgambil keputusan tentang perkara itu,lalu memberitahukan putusan itu terhadap orang-orang yang dipimpinanya sambil menjelaskan dan meyakinkan mereka untuk menerima keputusan itu dengan memberitahuka untung-ruginya
3. pemimpin minta nasihat, jika dia mnyampaikan masalah kepada orang yang dipimpinnya meneriam usul dan nasihat serta pemecahannya,lalu membuat putusan sendiri
4. pemimpin bergabung dengan orang yang dipimpin jika dia menyajikan masalah kepada orang-orang yang dipimpin serta bersama mencari pemecahan masalah tersebut,dan akhirnya mencapai pemecahan bersama.
5. pemimpin memberi kekuasaan kepada orang yang dipimpin, dia menyajikan masalah,memberi tahu batas pemecahannya dan menyerahkan kepada mereka cara pemecahannya

Factor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan
Dalam melaksanakan tugas kepemimpina mempebgaruhi orang atau kelompok menuju tujuan tertentu,kita pemimpin, dipengaruhi oleh beberapa factor. Factor-faktor itu berasal dari diri kita sendiri,pandangan kita terhadap manusia, keadaan kelompok dan situasi waktu kepemimpina kita laksanakan.
Orang yang memandang kepemimpinan sebagai status dan hak untuk memdapatkan fasilitas, uang, barang, jelas akan menunjukkan praktek kepemimpinan yang tidak sama dengan orang yang mengartikan kepemimpinan sebagai pelayanan kesejahtraan orang yang dipimpinnya. Factor-faktor yang berasal dari kita sendiri yang mempengaruhi kepemimpina kita adalah pengertian kita tentang kepemimpinan, nilai atau hal yang kita kejar dalam kepemimpinan, cara kita menduduki tingkat pemimpin dan pengalaman yang kita miliki dalam bidang kepemimpinan.

Tags:

Leadership

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 20, 2010

Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan, dan diantaranya memiliki beberapa unsur yang sama.

Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), istilah ini dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.

Sedangkan menurut Anderson (1988), “leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance”.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi, antara lain :

  • Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, tidak akan ada pimpinan.
  • Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
  • Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.

Kepemimpinan seringkali disamakan dengan manajemen. Padahal, keduanya berbeda. Menurut Bennis and Nanus (1995), pemimpin berfokus mengerjakan yang benar, memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat. Sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.

Berikut perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai model-model kepemimpinan :

  • Model Watak Kepemimpinan

Pada umumnya studi pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974). Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi.

  • Model Situasional

Model ini merupakan pengembangan model sebelumnya dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan.

  • Model Kepemimpinan yang Efektif

Model ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif.

  • Model Kepemimpinan Kontingensi

Model ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional.

  • Model Transformasional

Ini merupakan model yang relatif baru, yang pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.

Tags:

SPIRITUALITAS DITEMPAT KERJA

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 20, 2010

Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan suatu organisasi sangat tergantung pada bagaimana orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Sarana prasarana, sistem, dan keuangan yang baik akan tidak memiliki arti lagi jika orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut memiliki kompetensi dan komitmen yang rendah. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan mudah dengan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk meningkatkan kompetensi tersebut, namun untuk meningkatkan komitmen diperlukan lebih banyak hal lagi.

Rendahnya komitmen dapat disebabkan oleh banyak hal, tetapi seringkali secara potensial terjadi karena orang-orang di dalam organisasi tidak tahu apa yang dapat diperolehnya dengan pekerjaannya itu selain hanya sekedar uang, orang menjadi tidak berbahagia dengan pekerjaannya, kemudian menjadi bosan, apatis, dan pada akhirnya menjadi tidak produktif. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di perusahaan menunjukkan hal yang serupa. Cacioppe dalam The Leadership & Organization Development Journal (dalam Kompas on line, 2008) mengungkapkan bahwa Pertumbuhan ekonomi tidak membuahkan kebahagiaan karena terjadi konsumerisme. “Kita bekerja dan membayar sesuatu, bekerja lagi dan lebih banyak lagi yang kita bayar. Kita harus keluar dari lingkaran ini’. Kenyataan bahwa kita telah mengikuti suatu sistem keyakinan yang tidak lengkap dan dangkal, hasilnya membuat kita kehilangan makna dan merasa tidak sehat dalam hidup.

Hasil penelitian dalam buku Megatrends 2010 (Aburdene, 2006) mengungkap bahwa pencarian atas spiritualitas adalah megatrend terbesar di masa sekarang ini. Aburdene yakin bahwa trend spiritualitas yang kini marak akan menjadi megatrend dalam beberapa tahun ini dan mendatang. Bahkan transformasinya tidak hanya pada tingkat individu, namun sudah mencapai tingkat institusi atau korporasi. Sebelum era kesadaran spiritual datang, dunia bisnis cenderung mengesampingkan nilai-nilai transpersonal. Perusahaan, tanpa disadari, telah merubah fungsinya dari sekedar ”mencetak-uang” (money-making) menjadi ”mengeruk-uang” (money-grubbing) dan pengerukan uang tidak baik untuk bisnis (Zohar & Marshall, 2005).

Kedua hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses bekerja diperlukan kemampuan individu untuk dapat memaknai pekerjaannya, sehingga individu tersebut menjadi berbahagia, sehat hidupnya dan pada akhirnya tidak hanya menjadi produktif, tetapi juga dapat melahirkan berbagai ide yang inovatif. Untuk membuat orang-orang didalam organisasi dapat memahami makna dari pekerjaannya tersebut lahirlah disiplin baru yang disebut dengan spiritualitas di tempat kerja (workplace spirituality), bagian khusus dari budaya organisasi (organizational culture).

Workplace spirituality adalah konsep baru dalam model manajemen dan perilaku organisasi, khususnya budaya organisasi. Konsep ini pun sebenarnya telah digambarkan dalam konsep-konsep perilaku organisasi seperti values, ethics, dan sebagainya. Hal ini dijelaskan oleh Robbins (2005) sebagai berikut, The concept of workplace spirituality draws on our previous discussion of topics such as values, ethics, motivation, leadership, and work/life balance.

Robbins (2005) mendefinisikan workplace spirituality sebagai berikut, “Workplace spirituality recognizes that people have an inner life that nourishes and is nourished by meaningful work that takes place in the context of community. Organizations that promote a spiritual culture recognize that people have both mind and a spirit, seek to find meaning and purpose in their work, and desire to connect with other human being and be part of community”. Pemahaman lain mengenai konsep ini dijabarkan oleh Sauber (2003) sebagai berikut, “Spirit in the workplace is leaders learning to lead instead of manage. It is an understanding that organizations are in service, not just providing a service. It is searching one’s self for his/her purpose in l ife and tapping into that pass ion. It is embracing and appreciating the gifts and talents each and every employee brings to their job each and every day – day in and day out”.

Istilah yang biasanya digunakan untuk menjelaskan konsep ini adalah workplace spirituality, spirituality in the workplace, spirituality at work, spiritual workplace, spirit at work, atau spiritualitas kerja. Istilah-istilah ini merujuk pada konsep yang sama, yaitu menerima manusia (karyawan) sebagai mahluk spiritual (spiritual being) dan organisasi atau tempat kerja harus memfasilitasi perkembangan dimensi spiritual ini sebagai bentuk penerimaan bahwa setiap karyawan adalah human being yang membutuhkan nilai dan makna. Istilah spiritualitas yang dimaksud merujuk pada sesuatu yang universal, yaitu meaning, purpose, dan value.

Sebagai konsep baru, banyak pihak yang beranggapan workplace spirituality adalah pengelolaan agama. Hal ini dikarenakan kata spiritualitas sangat berkaitan erat dengan makna Ketuhanan, dengan kajian teologi dan filsafat, dengan psikologi agama, dan dengan konsep mengenai agama itu sendiri. Setiap agama mengajarkan konsep spiritualitas, namun pembahasan workplace spirituality tidak berkaitan dengan suatu agama tertentu, dengan konsep kesalehan, atau dengan pelaksanaan ritual agama tertentu. Walaupun pada akhirnya pelaksanaan di tingkat individu dapat disesuaikan dengan belief system atau agama yang dianutnya. Penggunaan istilah spiritual tidak berkaitan dengan agama institusional. Spiritualitas adalah kapasitas bawaan dari otak manusia—spiritualitas berdasarkan struktur-struktur dari dalam otak yang memberi kita kemampuan dasar untuk membentuk makna, nilai, dan keyakinan. Spiritualitas bersifat prakultural dan lebih primer dibandingkan dengan agama. Karena kita punya kecerdasan spirituallah, umat manusia kemudian menganut dan menjalankan sistem keagamaan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh spiritualitas (Zohar dan Marshall, 2005).

Spiritualitas ditempat kerja ini adalah pemanfaatan, penumbuhan, dan pengembangan nilai-nilai ditempat kerja sehingga menjadi spiritual bagi orang-orang yang ada di organisasi. Dengan demikian, orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut “menikmati” segala kelebihan dan kekurangan yang ada dalam pekerjaannya, membuatnya bahagia, membuatnya ingin mengaktualisasikan diri sebaik mungkin, sampai pada akhirnya menjadi lebih produktif dalam menangani berbagai pekerjaan. Namun, karena spiritualitas ini berkaitan dengan nilai-nilai maka akan berkaitan dengan agama, karena agama selalu memberikan nilai-nilai yang harus dianut oleh pemeluknya, (Zohar dan Marshall, 2005) lebih lanjut mengemukakan hal tersebut sebagai berikut.

Walaupun pada akhirnya pelaksanaan di tingkat individu dapat disesuaikan dengan belief system atau agama yang dianutnya. Penggunaan istilah spiritual tidak berkaitan dengan agama institusional. Spiritualitas adalah kapasitas bawaan dari otak manusia—spiritualitas berdasarkan struktur-struktur dari dalam otak yang memberi kita kemampuan dasar untuk membentuk makna, nilai, dan keyakinan. Spiritualitas bersifat prakultural dan lebih primer dibandingkan dengan agama. Karena kita punya kecerdasan spirituallah, umat manusia kemudian menganut dan menjalankan sistem keagamaan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh spiritualitas.

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas memberikan nilai-nilai yang dapat dipahami dan dipegang bersama (contoh: kejujuran, integritas), dan agama memberikan jalan untuk pelaksanaannya di tingkat individu sesuai dengan ajarannya masing-masing. Khusus di dunia bisnis, spiritualitas harus mendorong lahirnya generasi ketiga (Pradiansyah, 2007). Gerenasi pertama disebut sebagai generasi praspiritualitas, yaitu generasi yang percaya bahwa bisnis semata-mata hanya untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, bisnis tidak bersinggungan dan harus dijauhkan dari spiritualitas. Generasi kedua adalah generasi spiritualitas pertama. Generasi yang berusaha menyatukan bisnis dan spiritualitas. Spiritualitas telah diterima dan dalam praktiknya generasi ini telah menyediakan fasilitas, sarana, dan prasarana bagi karyawan untuk beribadah, menyelenggarakan acara keagamaan, menyelenggarakan pelatihan kecerdasan spiritual, dan melaksanakan Corporate Social Responsibility. Spiritualitas dan agama telah hadir di tempat kerja. Masalah yang kemudian muncul adalah generasi kedua hanya menghadirkan spiritualitas, namun tidak menyatukan spiritualitas dengan bisnis. Pradiansyah (2007) menyebut perusahaan seperti ini sebagai perusahaan agamis, bukan perusahaan spiritual, karena spiritualitas dan agama hanya hadir dalam bentuk fisikal, dan sekularisasi bisnis.

Generasi ketiga adalah generasi yang ditunggu. Inilah generasi yang sepenuhnya memahami arti membawa spiritualitas ke ruang kerja. Generasi ini tidak hanya menghadirkan spiritualitas, namun menerapkan nilai-nilai spiriualitas dalam setiap praktik bisnisnya. Generasi ini memberikan makna yang mendalam kepada pekerjaan, seperti memahami nilai bahwa perusahaan ada untuk memberikan kontribusi bagi kemanusiaan sehingga dalam praktiknya perusahaan tidak merusak alam, tidak melakukan korupsi dan penyelewengan, dan berkomitmen memberikan nilai tambah pada kehidupan orang lain.

Ada tiga kategori utama workplace spirituality (Milliman dkk, 2003), yaitu purpose in one’s work atau ”meaningful work”, having a ”sense of community”, dan being in ”alignment with the organization’s values” and mission. Masing-masing kategori tersebut mewakili tiga level dari workplace spirituality, yaitu individual level, group level, dan organizational level.

Meaningful work mewakili level individu. Hal ini adalah aspek fundamental dari workplace spirituality, terdiri dari memiliki kemampuan untuk merasakan makna terdalam dan tujuan dari pekerjaan seseorang. Dimensi ini merepresentasikan bagaimana pekerja berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di tingkat individu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia memiliki motivasi terdalamnya sendiri, kebenaran dan hasrat untuk melaksanakan aktivitas yang mendatangkan makna bagi kehidupannya dan kehidupan orang lain. Bagaimanapun juga, spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai sesuatu yang menyenangkan dan menantang, tapi juga tentang hal-hal seperti mencari makna dan tujuan terdalam, menghidupkan mimpi seseorang, memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup seseorang dengan mencari pekerjaan yang bermakna, dan memberikan kontribusi pada orang lain.

Sense of community mewakili level kelompok. Dimensi ini merujuk pada tingkat kelompok dari perilaku manusia dan fokus pada interaksi antara pekerja dan rekan kerja mereka. Pada level ini spiritualitas terdiri dari hubungan mental, emosional, dan spiritual pekerja dalam sebuh tim atau kelompok di sebuah organisasi. Inti dari komunitas ini adalah adanya hubungan yang dalam antar manusia, termasuk dukungan, kebebasan untuk berekspresi, dan pengayoman.

Aspek fundamental yang ketiga adalah alignment with organizational values yang mewakili level organisasi. Aspek ke tiga ini menunjukkan pengalaman individu yang memiliki keberpihakan kuat antara nilai-nilai pribadi mereka dengan misi dan tujuan organisasi. Hal ini berhubungan dengan premis bahwa tujuan organisasi itu lebih besar daripada dirinya sendiri dan seseorang harus memberikan kontribusi kepada komunitas atau pihak lain.

Mendasarkan pada tiga kategori di atas, tidak mungkin organisasi akan secara otomatis memilikinya. Oleh karena itu organisasi harus mengupayakannya. Organisasi harus mendorong seluruh karyawan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Robbins & Judge dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior menyebutkan budaya spiritualitas yang perlu dibentuk adalah; 1) Strong sense of purpose, meskipun pencapaian keuntungan itu penting, tetapi hal itu tidak menjadi nilai utama dari suatu organisasi dengan budaya spiritual.Karyawan membutuhkan adanya tujuan perusahaan yang lebih bernilai, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk visi dan misi organisasi. 2) Trust and respect, organisasi dengan budaya spiritual senantiasa memastikan terciptanya kondisi saling percaya, adanya keterbukaan dan kejujuran. Salah satunya dalam bentuk manajer dan karyawan tidak takut untuk melakukan dan mengakui kesalahan. 3) Humanistic work practices, jam kerja yang fleksibel, penghargaan berdasarkan kerja tim,mempersempit perbedaan status dan imbal jasa, adanya jaminan terhadap hak-hak individu pekerja, kemampuan karyawan, dan keamanan kerja merupakan bentuk-bentuk praktik manajemen sumber daya manusia yang bersifat spiritual, 4) Toleration of employee expression, Organisasi dengan budaya spiritual memiliki toleransi yang tinggi terhadap bentuk-bentuk ekspresi emosi karyawan. Humor, spontanitas, keceriaan di tempat kerja tidak dibatasi. Saat ini sudah cukup banyak perusahaan yang menerapkan budaya spiritualitas di tempat kerja.

Dengan terbentuknya budaya spiritualitas di tempat kerja, diharapkan akan terbentuk karyawan yang happy, tahu dan mampu memenuhi tujuan hidup. Karyawan yang demikian umumnya memiliki hidup yang seimbang antara kerja dan pribadi, antara tugas dan pelayanan. Pada umumnya, mereka juga memiliki kinerja yang lebih tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan sebuah perusahaan konsultan besar, penerapan lingkungan kerja yang spiritual meningkatkan produktivitas dan menurunkan turn over.

Studi lainnya menunjukkan, karyawan yang kecerdasan spiritualnya tinggi dan didukung lingkungan kerja yang juga spiritual, secara positif menjadi lebih kreatif, memiliki kepuasan kerja yang tinggi, mampu bekerja dengan baik secara tim, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi.

Mendasarkan konsep tersebut maka organisasi akan sangat memiliki keuntungan yang besar jika mampu mengembangkan spiritualitas di tempat kerjanya, namun demikian untuk menumbuhkan spiritualitas di tempat kerja tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Membuat para karyawan paham akan nilai-nilai organisasi, dan kemudian menginternalisasikannya, dan kemudian membuat orang-orang didalam organisasi tersebut secara sukarela menganut dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-harinya merupakan faktor kunci tumbuhnya spiritualitas di tempat kerja. Disinilah letak penting value bagi organisasi, tidak terkecuali lembaga pendidikan.

Tags:

Case v : Cultural Development di DPdB

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 14, 2010

Berbagai kajian kontemporer mengenai perbaikan pemerintahan yang kita temui, lebih banyak menggunakan asumsi bahwa organisasi pemerintah sama dengan organisasi bisnis. Sehingga resep-resep perbaikan untuk organisasi bisnis diterapkan untuk memperbaiki organisasi pemerintah. Kita mengenal konsep Total Quality Management (TQM), rekayasa ulang proses bisnis, restrukturisasi, perampingan, reengineering, redesain, atau semacamnya, yang diterapkan untuk memperbaiki pemerintahan. Namun harus diakui, konsep tersebut (selanjutnya kita sebut dengan konsep perubahan) belum sepenuhnya cespleng untuk memperbaiki kinerja organisasi pemerintah, bahkan ada pula yang justru menemui kebuntuan.
Kekeliruan mendasar adalah pada pemakaian asumsi tadi. Organisasi bisnis memiliki karakter yang berbeda dengan organisasi pemerintah. Organisasi bisnis hidup dalam sistem yang relatif stabil dan pada umumnya berfungsi dengan baik, yaitu pasar. Organisasi bisnis menghadapi persaingan, memiliki misi yang jelas terhadap laba yang mereka inginkan, mengukur kinerja, dan bertanggung jawab terhadap pelanggan. Sedang organisasi pemerintah berada dalam sistem yang lebih besar di luar kendali mereka, mencakup sistem pemerintahan di atasnya. Sistem yang tidak bisa lepas dari upaya-upaya politik. Organisasi pemerintah tidak terbiasa menghadapi persaingan, jarang yang memiliki misi yang jelas, jarang pula yang dapat mengukur kinerja, apalagi pertanggungjawabannya kepada pelanggan (stakeholder).

DEFINISI CULTURAL DEVELOPMENT
Perbedaan karakter yang dimiliki, melahirkan budaya organisasi yang berbeda pula pada organisasi bisnis dan pemerintah. Inilah yang terabaikan dari pemakaian asumsi tadi. Budaya pada organisasi pemerintah tidak dapat didefinisikan sebagai budaya organisasi dalam teori manajemen umum. Dalam pemerintahan, budaya merupakan subsistem yang keberadaannya strategis, bahkan menentukan hingga ke taraf pencitraan publik. Contoh sederhananya adalah ketika orang mengenal pemerintah karena budayanya yang berbelit-belit lagi korup. Oleh karena itu, untuk memperbaiki organisasi pemerintah, dimensi budaya harus dilibatkan. Budaya menjadi variabel tetap perubahan. Dengan kata lain, konsep perubahan yang dicanangkan, entah itu konsep manajemen bisnis, reformasi, ataupun program kebijakan lain,  harus dijadikan sebagai bagian dari budaya pada organisasi pemerintah tersebut.
Menjadikan konsep perubahan sebagai budaya inilah yang kita sebut sebagai pengembangan kultural (cultural development) . Cultural merupakan bentuk adjective dari culture (budaya), sedang development memiliki makna developing; come or bring gradually into existence. Sehingga secara harfiah, cultural development kurang lebih merupakan proses bertahap menuju sebuah realitas budaya.

SYARAT-SYARAT CULTURAL DEVELOPMENT
Pengembangan kultural merupakan “perubahan” manusia. Dilakukan oleh manusia, yang diubah pun manusia, bukan organisasi. Syarat dasar dari adanya perubahan ini adalah adanya manusia yang menjadi pionir perubahan. Sang pencetus gagasan, yang jumlahnya dalam organisasi biasanya tidak signifikan.
Karena objeknya adalah manusia, yang memiliki ciri yang khas, maka pengembangan kultural menjadi sebuah proses yang lama. Lebih dari itu, dalam sebuah institusi, orang-orang memiliki kelompoknya masing-masing, yang dalam kaca mata budaya disebut sebagai subkultur. Subkultur dalam sebuah institusi terbentuk karena berbagai kesamaan yang dimiliki, bisa kesamaan angkatan masuk, jender, daerah asal, unit kerja, almamater, atau yang lain. Di tingkat subkultur inilah penghambat utama perubahan berada. Dengan karakteristik demikian, maka syarat-syarat untuk melakukan pengembangan kultural adalah adanya:
a.    Komitmen pemimpin di setiap level
Pengembangan kultural harus dimulai dengan goodwill pengambil kebijakan dari struktur paling atas. Kemudian juga pemimpin pada level di bawahnya. Tugas pemimpin di setiap level ini adalah mengkomunikasikan nilai-nilai baru kepada bawahannya. Tanpa kemauan dan komitmen pemimpin, perubahan kultural mustahil dilakukan.
b.    “Kesepakatan” subkultur
Merubah secara kultur mensyaratkan adanya kesediaan setiap anggota organisasi terhadap perubahan itu sendiri. Oleh karenanya anggota organisasi harus dilibatkan dalam perubahan. Buat mereka berpartisipasi, bahkan berikan kepemilikan perubahan kepada mereka. Karena pada umumnya anggota organisasi mengelompok pada subkulturnya, maka perubahan kultural harus pula ‘disepakati’ oleh subkultur yang ada. Hal ini bisa diupayakan dengan jalan mencari nilai-nilai kolektif lintas subkultur untuk dijadikan perangkat ‘kesepakatan.
c.    Adanya stamina dan daya tahan yang cukup
Sebagaimana disebutkan di atas, proses pengembangan kultural merupakan proses yang panjang. Proses ini mensyaratkan komitmen kepemimpinan, komunikasi yang rutin, hingga pengendalian subkultur, yang tentunya memerlukan stamina dan daya tahan yang cukup bagi para pemimpin, agen perubahan, dan organisasi itu sendiri.

TAHAPAN CULTURAL DEVELOPMENT
Penulis membagi tiga tahapan yang harus dilalui dalam proses pengembangan kultural ini. Masing-masing tahapan tersebut adalah culture mapping (pemetaan budaya), culture building (pembangunan budaya), dan culture maintenance (pemeliharaan budaya).

1.    Culture mapping
Tahap awal yang harus dilakukan adalah memetakan budaya yang sudah ada pada suatu organisasi. Tujuannya setidaknya ada dua, yaitu yang pertama untuk mengetahui secara umum corak budaya yang ada, apakah cocok dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep perubahannya atau tidak. Dan yang kedua, sekaligus untuk mengidentifikasi melalui pintu mana konsep perubahan tersebut akan dikembangkan sebagai budaya, tergantung dari sifat budaya yang ada terhadap konsep perubahan yang diajukan. Di sini penulis menawarkan tiga alternatif pintu masuk, yakni adaptasi, sinergi, dan substitusi kultur.
Sekarang mari kita memetakan budaya yang ada pada organisasi pemerintah. Organisasi pemerintah merupakan organisasi ciptaan sektor politik, strukturnya hierarkis berlapis-lapis, dan diorganisir secara spesifik dan birokratis.  Aturan kepangkatan sangat menentukan, hingga membelenggu keberanian pegawai. Job description diuraikan sedemikian rupa secara rinci, begitu juga dengan prosedur dan aturan kerja. Apa yang harus dikerjakan sudah digariskan di muka, pegawai tinggal melaksanakannya saja. Corak sistem seperti ini akan melahirkan kondisi di mana inisiatif menjadi berisiko, sekaligus lingkungan yang statis.
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa kondisi yang tercipta dari sistem yang terlalu hierarkis, rinci dan prosedural akan memunculkan kecenderungan sikap pegawai yang takut untuk berinisiatif dan membuat keputusan, penyimpangan, serta kehilangan motivasi.  Ketidakberanian berinisiatif dan membuat keputusan, secara akumulatif dapat melemahkan kadar kepemimpinan seseorang, penyimpangan akan berpengaruh pada moralitas, sedang kehilangan motivasi akan berdampak pada hilangnya harapan akan masa depan.
Jika kita lihat, secara umum budaya pada organisasi pemerintah merupakan budaya yang kontraproduktif dengan konsep perubahan manapun. Budaya takut, perilaku menyimpang (korupsi, kolusi, nepotisme), dan minim motivasi, merupakan budaya yang berlabel negatif, tidak menunjang, bahkan resisten terhadap perbaikan. Kalau demikian adanya, maka cara yang paling masuk akal untuk membudayakan konsep perubahan pada organisasi pemerintah adalah dengan substitusi kultur.

2.    Culture building
Culture building merupakan proses artikulasi nilai-nilai pada konsep perubahan menjadi bagian dari budaya yang ada, sesuai dengan pintu masuk yang dilalui pada tahap 1. Pintu masuk yang dipilih akan menentukan pola pembangunan pada tahap ini. Pola di sini lebih diartikan sebagai “sikap” perubahan terhadap unsur-unsur pembentuk budaya.
Budaya sendiri terbentuk dari pola pikir, perasaan, dan kebiasaan. Pola pikir merupakan peta mental dan persepsi anggota organisasi. Pola pikir sangat terkait dengan paradigma (cara pandang) yang ada. Sedang perasaan lebih terkait akan adanya komitmen emosional anggota organisasi terhadap keberadaan organisasi itu sendiri. Dan komitmen emosional terwujud dari motif-motif yang ada dalam diri anggota organisasi. Paradigma dan motif bersama-sama mempengaruhi attitude anggota organisasi, yang diaktualisasikan melalui kebiasaan-kebiasaannya. Dengan kata lain, paradigma, motif, dan attitude lah unsur-unsur yang membentuk budaya.
Sebagaimana telah kita petakan pada tahap 1 di atas, konsep perubahan pada organisasi pemerintah akan dibangun melalui pintu substitusi kultur. Terhadap unsur pembentuk budaya, proses substitusi kultur menawarkan nilai-nilai yang sama sekali baru. Substitusi kultur berarti mengupayakan hadirnya paradigma, motif, dan attitude yang baru. Lagi-lagi bukan untuk menggeser budaya lama, tetapi lebih kepada menjadikannya pijakan bagi kulturisasi konsep perubahan yang diajukan.
Lalu bagaimanakah upaya menghadirkan paradigma, motif, dan attitude yang baru itu?

a.    Menghadirkan paradigma baru
Stephen Covey menyebutkan bahwa paradigma adalah cara kita “melihat” dunia, berkaitan dengan persepsi, mengerti, menafsirkan. Paradigma memberikan kita asumsi terhadap sesuatu. Secara umum orang akan sulit melepas asumsinya. Untuk menghadirkan pardigma baru, kita harus menyajikan suatu realitas yang tidak dapat diasumsikan. Fakta yang sulit dipersepsikan dengan perangkat paradigma lama. Kita memberikan keadaan-keadaan yang berbeda. Kita berikan anomali- pengecualian. Ketika anomali menumpuk, orang mulai dapat meninggalkan paradigma lamanya.
Namun proses anomali ini panjang, sehingga kita perlu mempercepatnya dengan pemberian sugesti. Dr. Gerungan memaparkan bahwa sugesti adalah suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Secara umum orang akan menerima sugesti karena disosiasi, suara mayoritas, otoritas, ‘will to believe’, dan terhambat pikirannya.
Sebagai akselerator, sugesti harus dilakukan secara rutin. Sugesti dapat dilakukan melalui pertemuan formal di setiap atau lintas unit kerja.

b.    Menghadirkan motif baru
Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Dia adalah reason to do. Dengan alasan-alasan inilah kita membuat komitmen emosional terhadap sesuatu (organisasi).
Untuk menghadirkan motif baru pada diri seseorang, kita harus mengetahui apa saja yang membuat seseorang itu  termotivasi (memiliki motif terhadap sesuatu). Menurut John Maxwell, hal-hal yang memotivasi orang adalah adanya partisipasi mereka dalam peran dan tujuan, keberadaannya diakui, mengalami kekecewaan positif, serta memiliki harapan yang jelas. Dari sini dapat kita lakukan upaya menghadirkan motif baru dengan melibatkan anggota organisasi dalam perubahan, mengadakan mekanisme reward and punishment yang adil, terukur, dan transparan untuk mengakui keberadaan dan kekecewaan positif yang mereka alami, serta melakukan manajemen harapan yang benar.
c.    Menghadirkan attitude baru
Attitude dapat kita definisikan sebagai sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu. Dari pengertian tersebut tampak bahwa attitude dipengaruhi oleh paradigma (sikap pandangan) dan motif (penggerak sikap perasaan).
Karena pada dasarnya attitude itu terbentuk karena pengaruh paradigma dan motif yang ada, maka upaya menghadirkan attitude baru tergantung dari upaya menghadirkan paradigma dan motif yang baru pula. Namun untuk menjadikannya attitude, diperlukan sebuah pembiasaan. Pembiasaan inilah yang harus diupayakan. Pembiasaan (upaya menjadikan sesuatu, kebiasaan) dapat dilakukan dengan cara menciptakan iklim pembiasaan. Iklim pembiasaan tercipta dari dinamisasi sengaja lingkungan yang mendukung perubahan secara terus-menerus, disertai fasilitas yang menunjang. Dinamisasi ini dapat dibuat secara fisik dan psikologis di lingkungan organisasi.

3.    Culture-maintenance
Tahap ini merupakan tahap yang menentukan akan bernafas atau tidaknya proses cultural development yang dilakukan. Pada dasarnya maintenance di sini berarti menjaga agar kulturisasi yang dilakukan tetap eksis (keep in existence), hingga tujuannya tercapai.
Maintenance dilakukan terkait dengan sifat perubahan kultural yang rumit, lama, sekaligus membutuhkan energi yang besar. Dan untuk mengelola sesuatu yang besar dibutuhkan disiplin tinggi yang berkesinambungan. Oleh karenanya maintenance dapat dilakukan dengan memoles segala proses yang berjalan dengan budaya disiplin. Budaya disiplin berarti menjaga kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan perubahan yang seharusnya dijaga. Budaya disiplin diterapkan untuk mengantisipasi kemungkinan stagnasi proses perubahan kultural dengan tingkat keberhasilan berapapun.
Rhenald Khasali menyebutkan bahwa pilar budaya disiplin adalah discipline people, discipline action, dan discipline thought. Menurutnya, dalam memperkuat budaya suatu institusi, discipline people merupakan prasyarat yang sangat mutlak. Discipline people itu sendiri, menurut Rhenald, dapat dibentuk dengan rekrutmen yang terbaik, berikan orientasi dan standar yang terbaik, jalankan ritual yang benar, letakkan pada kursi yang tepat, keluarkan yang di bawah standar, dan adanya jiwa kepemimpinan ekstra.

CULTURAL DEVELOPMENT PADA DJBC
Sebagai salah satu organisasi pemerintah, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), juga menemui tantangan yang sama sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini. Terlebih DJBC sebagai institusi global, yang diharapkan juga mampu menangani global operation. Sebagaimana kita ketahui, perubahan lingkungan strategis di tingkat global, serta perkembangan yang sangat cepat di bidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi, berdampak pada meningkatnya tuntutan masyarakat perdagangan dan perekonomian dunia terhadap kinerja institusi kepabeanan di setiap negara. Sehingga perubahan menjadi institusi yang lebih baik, bagi DJBC memang sudah tidak dapat dielakkan lagi.
DJBC sendiri telah mentargetkan dirinya di masa yang akan datang sebagai institusi pabean kelas dunia di bidang kinerja dan citra. Salah satu upaya serius untuk mewujudkan visi tersebut adalah adanya penyusunan Program Reformasi di Bidang Kepabeanan atau yang sering dikenal dengan Program Reformasi Kepabeanan (Customs Reform). Customs Reform merupakan konsep perubahan paling aktual bagi DJBC sekarang ini.
Oleh karenanya, cultural development pada DJBC dapat didefinisikan sebagai upaya menjadikan Customs Reform sebagai bagian dari budaya DJBC itu sendiri. Artinya, Customs Reform akan efektif dan berkontribusi nyata terhadap tujuan, ketika ia menjadi budaya. Sehingga otomasi sistem dan kecepatan pelayanan, kemitraan yang benar dengan stakeholder, anti penyelundupan dan under valuation, serta adanya integritas, bukanlah sekedar program saja, melainkan menjadi budaya baru di DJBC.

credit to :

http://sipetualang.com/?p=169

Tags:

Berbagai pengaruh perubahan yang terjadi akibat reformasi menuntut organisasi baik organisasi swasta maupun pemerintah untuk mengadakan inovasi-inovasi guna menghadapi untutan perubahan dan berupaya menyusun kebijakan yang selaras dengan perubahan ingkungan. Suatu organisasi harus mampu menyusun kebijakan yang tepat untuk mengatasi setiap perubahan yang akan terjadi.

Penyusunan kebijakan yang menjadi perhatian manajemen salah satunya menyangkut pemberdayaan sumber daya manusia. Fenomena perubahan mendasar yang dimanifestasikan dengan lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan arah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kepegawaian Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai implikasi langsung terhadap kesiapan pengembangan sumber daya manusia, dan ketersediaan sumber daya lainnya. Perubahan tersebut membawa dampak pada perubahan budaya organisasi yang mau tidak mau harus menghadapi serangkaian adaptasi yang harus dilakukan atas keberagaman (diversitas) atribut demografi seperti; ras, kesukuan, gender, usia status fisik, agama, pendidikan, dan lain sebagainya.

Selain keberagaman, tantangan cukup kompleks adalah bagaimana mengubah budaya organisasi lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai budaya organisasi baru pada seluruh pegawai atas keinginan secara sukarela dan partisipasi pegawai. Orang tidak akan berubah dengan sendirinya hanya karena diperintah dan hanya akan berubah kalau menginginkannya secara suka rela dan sadar. Orang yang bersedia meninggalkan cara lama sangat sedikit jumlahnya. Kenyataan selama ini banyak para pemimpin dan aparatur negara bukan hanya sulit untuk berubah tetapi juga sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya organisasi aparatur negara.

Tuntutan kebutuhan yang semakin tinggi dimanifestasikan dengan lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan arah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kepegawaian Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai implikasi langsung terhadap kesiapan pengembangan sumber daya manusia, dan ketersediaan sumber daya lainnya. Perubah-an tersebut membawa dampak pada perubahan budaya organisasi yang mau tidak mau harus menghadapi serangkaian adaptasi yang harus dilakukan atas keberagaman (diversitas) atribut demografi seperti; ras, kesukuan, gender, usia status fisik, agama, pendidikan, dan lain sebagainya. Selain keberagaman, tantangan cukup kompleks adalah bagaimana mengubah budaya organisasi lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai budaya organisasi baru pada seluruh pegawai atas keinginan secara sukarela dan partisipasi pegawai. Orang tidak akan berubah dengan sendirinya hanya karena diperintah dan hanya akan berubah kalau menginginkannya secara suka rela dan sadar. Orang yang bersedia meninggalkan cara lama sangat sedikit jumlahnya. Kenyataan selama ini banyak para pemimpin dan aparatur negara bukan hanya sulit untuk berubah tetapi juga sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya organisasi aparatur negara. Tuntutan kebutuhan yang semakin tinggi sebagai dampak krisis ekonomi global, beban kebutuhan hidup Pegawai Negeri Sipil semakin tidak terpuaskan. Hal ini berakibat menurunnya motivasi pegawai dalam melaksanakan tugas.

Seperti yang telah dikemukakan dalam salah satu teori motivasi, teori hirarki kebutuhan dari Maslow, dari kelima kebutuhan (fisiologi, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktuali-sasi diri) dengan keterbatasan sumber-sumber yang ada pada manusia, pengaruh perekonomian, serta pengaruh lain maka kebutuhan-kebutuhan tersebut semakin sulit untuk terpenuhi yang akhirnya membawa dampak negatif terhadap kinerja Pegawai. Pemberian kewenangan yang luas kepada Pemerintah Daerah seperti diamanat-kan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, membawa konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Salah satu konsekuensinya yaitu daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintah dan pembangunan yang menjadi kewenangannya. Sejalan dengan hal ini, Koswara (2000) menyatakan bahwa daerah otonomi harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri. Pengelolaan dan penggunaan keuangan sendiri harus cukup memadai untuk pembiayaan penyelenggara-an pemerintah dan pembangunan daerah.

Tags:

case iv : Kepemimpinan Dalam Otonomi Daerah

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 13, 2010

Proses kepemimpinan akan selalu melibatkan orang lain, oleh karena itu dimana ada pemimpin, disana terdapat pengikut. Sebagai orang yang selalu bersama-sama dengan bawahannya atau yang dipimpinnya, seorang pemimpin harus mampu menjadi agen perubahan dan berinteraksi memberikan pengaruh kepada bawahannya atau yang dipimpinnya, sehingga bawahannya atau yang dipimpinnya bersemangat untuk menyelesaikan tugas masing-masing atau bekerjasama dalam mencapai tujuan organisasi yang sudah di tetapkan.

Pemerintah sebagai penggerak pembangunan dituntut upayanya untuk dapat menggerakkan masyarakat pada kemandirian menempuh dan menumbuh kembangkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, memberikan pelayanan umum yang sebaik-baiknya dan maksimal. Konsekuensi logik yang diterima dari tuntutan semacam itu, adalah adanya kemampuan manajerial seorang pemimpin pada pemerintah daerah untuk menjalankan sistem manajemen pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna. Tuntutan adanya pemimpin pemerintah yang berkemampuan handal, bermoral tinggi, loyal dan berdedikasi dalam memanfaatkan secara maksimal potensi yang dimiliki, ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

Dalam menjalankan kepemimpinan disuatu organisasi pemerintahan akan menghadapi permasalahan yang kompleks untuk mencapai tujuan, teori-teori atau ide-ide kepemimpinan, pada era otonomi daerah ini, harus dimiliki oleh pemimpin agar dapat menerapkan kepemimpinan yang seefektif mungkin.

Sekurang-kurangnya ada dua jenis kepemimpinan dalam bidang pemerintahan yakni kepemimpinan organisasional dan kepemimpinan sosial yaitu kepemimpinan organisasional dan Kepemimpinan Sosial. Kepemimpinan organisasional timbul karena yang bersangkutan menjadi pimpinan unit organisasi dengan pengikut sebagai bawahan yang patuh dengan berbagai ikatan norma-norma organisasi formal. Dimensi administratif pada kepemimpinan organisasional lebih dominan dari pada dimensi sosial maupun politik serta biasanya dapat menggunakan fasilitas manajerial seperti kewenangan, dana, personil, logistik dan sebagainya. Sedangkan kepemimpinan sosial timbul karena kapasitas dan kualitas pribadinya dalam menggerakkan bawahannya, dimana dimensi sosial dan politik lebih dominan dari pada dimensi administratifnya.

Dalam pimpinan pemerintahan daerah seharusnya mempunyai kedua bentuk dari kepemimpinan tersebut dengan melihat pertimbangan-pertimbangan untuk memilihannya yaitu Kapabilitas, Akseptabilitas dan Kompatibilitas. Secara singkat Kapabilitas adalah gambaran kemampuan diri si pemimpin baik intelektual maupun moral, yang dapat dilihat dari catatan jejak (track record) pendidikannya maupun jejak sikap dan perilakunya selama ini. Pemimpin yang baik tidak akan muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses perjalanan yang panjang. Selain pertimbangan Kapabilitas, pertimbangan lain adalah Akseptabilitas yaitu gambaran tingkat penerimaan pengikut terhadap kehadiran pemimpin. Semakin banyak pengikut yang menerima dengan baik kehadirannya maka semakin kuat besar peluang yang bersangkutan menjadi pemimpin. Pengaruh lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah Kompatibilitas yaitu Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan dari pemerintah tingkat atasnya & mengakomodasikan kebijakan dari pemerintah tingkat bawahnya maupun tuntutan dari para pengikutnya. Derajat urgensi ketiga aspek tsb sangat tergantung pada tingkatan dari wilayah pengaruh dari pimpinan pemerintahan. Jika aspek kepemimpinan tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dalam sistem pemerintahan maka urutan pentingnya pada tingkatan dalam posisi pemerintahan adalah :
Presiden : 1. Kapabilitas, 2. Akseptabilitas, 3. Kompatibilitas.
Kepala Daerah Propinsi : 1. Kompatibilitas, 2. Kapabilitas, 3. Akseptabilitas.
Kepala Daerah Kab/Kota : 1. Akseptabilitas, 2. Kapabilitas, 3. Kompatibilitas.
Kepala Desa/yang setingkat : 1. Akseptabilitas, 2. Kompatibilitas, 3. Kapabilitas.

Sesuai dengan jenis kepemimpinan dalam bidang pemerintahan, maka ada juga ada dua jenis pengikut yakni pengikut dalam konteks organisasi administratif, dan pengikut dalam konteks organisasi sosial. Pengikut dalam konteks organisasi administratif terdiri para PNS, yang bekerja dengan imbalan penghasilan dari negara.
Menurut Hersey & Blanchard (1990) tingkat kematangan pengikut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam yakni :
M1 : Rendah, Tidak mampu dan tidak mau atau tidak yakin.
M2 : Rendah ke sedang, tidak mampu tetapi mau atau yakin.
M3 : Sedang ke tinggi, mampu tetapi tidak mau atau tidak yakin.
M4 : Tinggi, mampu/kompeten dan mau/yakin.
Dalam otonomi daerah saat ini perlu juga mengadopsi suatu gaya Kepemimpian yang digunakan sesuai dengan kematangan Pengikut tersebut yaitu :
M1 –> G1 (Gaya Memberitahukan).
M2 –> G2 (Gaya Menjajakan).
M3 –> G3 (Gaya Mengikutsertakan).
M4 –> G4 (Gaya Mendelegasikan).

Perlu juga diketahui oleh kita semua khususnya para pemimpin pemerintah daerah bahwa sampai saat ini, manajemen telah berkembang mencapai generasi kelima. Adapun perkembangannya adalah sebagai berikut.
Generasi I mengarah kepada Management by Doing/Jungle Management, dengan cirinya adalah �doing thing by ourself�. Manajemen ini biasanya digunakan pada organisasi yang masih sederhana.
Generasi II mengarah kepada Management by Direction, dengan cirinya adalah �doing thing through the other people�. Manajemen ini menonjolkan aspek kepemimpinan, anggota organisasi hanya sebagai alat produksi.
Generasi III mengarah kepada Management by Objectives/Management by Targetting, dengan cirinya adalah mengutamakan target-target kuantitatif.
Generasi IV mengarah kepada Management by Value Creation/Total Quality Management, dengan cirinya adalah mengutamakan target-target kualitas terutama pada kepuasan pelanggan.
Generasi V mengarah kepada Management by Knowledge Networking, Virtual Enterprise and Dynamic Teamming, dengan cirinya menggunakan teknologi informatika serta mengutamakan jaringan antar manusia.

Dari lima tingkatan generasi yang telah tercipta pada tiap-tiap masanya, maka jika dievaluasi sampai saat ini pada sektor publik umumnya masih menggunakan manajemen generasi kedua atau ketiga.
Untuk itu organisasi publik khususnya pemerintah daerah perlu mengejar ketertinggalannya agar dapat tetap memainkan peranan sebagai agen pembaharuan dan lokomotif penggerak perubahan bangsa. Apabila ketertinggalan tersebut tidak disusul dengan segera maka besar kemungkinan akan terjadi kooptasi (penguasaan secara halus) terhadap sektor publik oleh sektor privat yang mana sektor privat sudah melaju kepada manajemen generiasi keempat bahkan kelima. Terlebih lagi, setelah adanya gelombang privatisasi peranan sektor privat menjadi sangat dominan. Untuk itu siapakah yang akan melakukan pembaharuan dan memajukan sistem manajemen pemerintah daerah? Jawabannya adalah Pemimpin.

credit to : http://agamkab.go.id/?agam=kreatifitas&se=detil&id=57

Tags:

case III : KM dalam pelayanan publik

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 13, 2010

Organisasi publik seperti Pemda dan sektor publik pada BUMN ( Rumah Sakit, PLN, PAM, Telkom, JasaMarga, dan lain-lain) telah menghadapi tuntutan semakin gencar dalam dua dekade belakangan ini dalam peningkatan pelayanan. Masyarakat dan pelanggan menuntut kinerja layanan yang lebih efisien dan lebih baik (Moynihan, 2006). Namun menurut riset Barzelay (2001), kemajuan organisasi publik dalam hal berkinerja belum juga terlalu nampak.

Pertanyaannya, mengapa pelayanan organisasi publik tidak membaik ? Salah satu faktornya adalah knowledge (Best Practices) yang dimiliki organisasi publik sangat minim. Organisasi publik terbatas dalam menguasai best practices untuk memberi layanan yang efektif dan rendah daya saingnya (Jorgensen, 2004).

Trend Organisasi Publik
Dari waktu ke waktu organisasi publik semakin membesar baik dalam jumlah karyawan maupun tuntutan masyarakat dalam pelayanan. Terdapat stagnasi kapabilitas organisasi karena knowledge/ pengetahuan yang dimiliki organisasi tidak menyebar. Selain itu daya dukung keuangan semakin lemah dan intervensi politik semakin tinggi. Disisi lain demand masyarakat terus meningkat.

Masyarakat dan pelanggan semakin kritis dan menuntut perbaikan layanan. Pertanyaan yang selalu muncul, kapan pelayanan bisa efisien, lebih cepat, lebih bersahabat dan harga murah ? Masyarakat saat ini mengharapkan layanan publik diberikan secara efektif, tepat waktu dan ekonomis. Pada era globalisasi saat ini organisasi publik makin dituntut pelayanan profesional yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi (knowledge worker).

Namun disadari banyak anggota organisasi publik tidak ada waktu meningkatkan pengetahuan karena status kepegawaian sudah terjamin. Pengetahuan baru dianggap hanyalah pilihan kebiasaan, tetapi tujuan sama dan sibuk dengan tugas rutin. Tambahan pengetahuan berarti pikiran makin ruwet, ide atau teknik baru menjadi misterius. Ini semua membuat pelayanan tidak bergerak ke arah yang lebih baik.

Berdasarkan pengamatan banyak organisasi sering tidak tahu pengetahuan apa saja yang dimiliki organisasi apalagi pengetahuan karyawannya. Pengetahuan banyak dimiliki karyawan aktif maupun karyawan yang sudah pensiun. Ini terjadi karena knowledge management tidak diperkenalkan di lingkungan organisasi. Kondisi ini sangat menonjol pada organisasi sektor publik.

Menuju Knowledge Worker
Jorgensen (2004) menyatakan bahwa organisasi / perusahaan yang tidak memiliki knowledge tidak akan mampu menghadirkan pelayanan yang lebih baik.Knowledge yang dimiliki anggota organisasi saat ini dan knowledge yang harus dimiliki anggota organisasi untuk mencapai tuntutan masyarakat dan pelayanan sangat besar. Ini disebut Knowledge Gap (Zack, 1999). Adanya knowledge gap berakibat munculnya capacity gap anggota organisasi (Grindle
dan Hilderbrand, 1995). Diperlukan cara menghilangkan / meminimalkan knowledge gap melalui implementasi Knowledge Management (KM). Knowledge Management (KM) diyakini mampu meminimalisasi knowledge gap di lingkungan organisasi.

Di Malaysia negara tetangga kita, diprakarsai Dr. Mahathir Mohamad Putrajaya dan para elit politik telah merumuskan dan bertekat mencapai “Wawasan 2020” dengan salah satu sasarannya bahwa setiap orang tidak lagi sebagai strong muscle worker tetapi menjadi knowledge worker (Syed – Ikhsan & Rowland, 2004). Hampir di setiap departemen pemerintahan di evaluasi dan di analisis seberapa jauh sudah menerapkan Knowledge Management (KM).

Berbeda dengan di Indonesia yang tidak mau ketinggalan, tapi sedikit simpang siur tentang penerapan Knowledge Management. “Knowledge” di Indonesia dianggap ke-butuhan profesi Information Technology (IT), Information, Communication and Technology (ICT), e- Commerce seperti terwujudnya Masyarakat Telematika Nusantara Berbasis Pengetahuan di Tahun 2020. Padahal sesungguhnya knowledge harus mencapai akar rumput di setiap line organisasi untuk dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat dan pelayanan karena Knowledge adalah dinamis dan humanis (Nonaka, 1995). Menurut studi lainnya oleh Liebowitz & Chen (2003) menemukan bahwa praktek implementasi KM pada sektor publik merupakan tantangan berat karena : 1).

Pola kerja di pemerintahan dan BUMN didominasi oleh hirarki dan birokrasi sulit menerapkan knowledge sharing dan transfer dan 2). Knowledge dikalangan pegawai negeri / karyawan BUMN disimpan di hati sedalam-dalamnya, untuk menjamin kenaikan karir. Sesungguhnya dengan penerapan KM di lingkungan organisasi akan terlihat bahwa : 1). Knowledge adalah pengetahuan yang dapat memberi nilai tambah, knowledge (aset yang tak berwujud) akan bertambah besar bila dimanfaatkan; 2). Knowledge Transfer atau Sharing berupa penyampaian.

knowledge
dari satu tempat, orang, dan pemilikan kepada pihak lain; 3). Merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja seluruh organisasi melalui berbagi pengetahuan (Knowledge Sharing) dan 4). KM akan berfungsi membangun mental anggota organisasi dalam kewirausahaan, dengan pengetahuan berinovasi dan menguasai masalah dan solusi tuntutan pelayanan pelanggan dan masyarakat.

Penutup
Diperlukan usaha-usaha yang lebih konkrit untuk mengimplementasikan Knowledge Management (KM) di lingkungan organisasi. Sangat diyakini dengan penerapan Knowledge Management di lingkungan organisasi dapat meningkatkan pelayanan publik yang selalu dituntut oleh masyarakat dan pelanggan dan sekaligus akan terbentuk knowledge worker yang menjadi impian dan tujuan organisasi di masa mendatang.

credit to : http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=46731:knowledge-dan-pelayanan-publik&catid=25:artikel&Itemid=44

Tags:

Sebagai upaya membangun kesadaran terhadap pentingnya Manajemen Pengetahuan dalam perusahaan, PLN Wilayah Sulselrabar menyelenggarakan sosialisasi Knowledge Management (KM) dengan mengundang Tim Knowledge Management dari PLN Pusat yang terdiri dari Vice President Manajemen Pengetahuan Tentamia, didampingi Yudistian dan Suci Baktiningsih.
Sosialisasi berlangsung di aula lt.VI kantor PLN Wilayah Sulselrabar pada Rabu (29/4) dan dihadiri oleh General Manager PLN Wilayah, KAI, para manajer bidang dan manajer Unit, para Fungsional Ahli serta para “Champions” yang terdiri dari generasi muda PLN penerimaan tahun 1990 hingga sekarang.
Mengawali sambutannya, General Manager PLN Wilayah Sulselrabar Haryanto WS mengutip kata-kata Direktur SDM yang mengatakan bahwa di PLN ini generasi mudanya mendapatkan pengetahuan melalui proses ”mengintip”. Hal itu menunjukkan bahwa manajemen pengetahuan selama ini belum berjalan dengan baik. Padahal masalah tersebut sangat krusial mengingat jumlah pegawai yang akan pensiun beberapa tahun ke depan sangat tinggi, sehingga dikhawatirkan transfer knowledge tidak berlangsung dengan baik bahkan banyak pengetahuan dan pengalaman yang hilang.
Senada dengan GM Haryanto, Vice Presiden Manajemen Pengetahuan Tentamia mengungkapkan betapa pentingnya Knowledge Management bagi suatu organisasi yang dinamis untuk dapat survive dan bertumbuh kembang. Dalam sosialisasinya, Tentamia menerangkah bahwa Knowledge Management di PLN secara resmi baru dibentuk sejak 2008.
KM sendiri didefinisikan sebagai langkah-langkah sistematik untuk mengelola aset pengetahuan  perusahaan (mengumpulkan, menyimpan dan menyebarkan/ menggunakan aset pengetahuan), untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara berkelanjutan.
KM juga dapat diartikan sebagai teknologi untuk mempercepat tumbuhnya inovasi pengetahuan, dengan memfasilitasi knowledge workers, untuk mendapatkan pengetahuan yang mereka butuhkan pada waktu yang tepat, mempercepat tumbuhnya tacit and explicit knowledge, serta memfasilitasi proses transformasi pengetahuan dari tacit knowledge menjadi explicit knowledge.
Dalam Dinamika Organisasi terdapat apa yang disebut Siklus 10 tahunan, dimana PLN sendiri menargetkan untuk bisa menjadi organisasi Pembelajaryang mampu melaksanakan proses transformasi (berbagi) pengetahuan secara berkelanjutan, dari “pengetahuan” pekerja menjadi “pengetahuan” organisasi, untuk menumbuh-kembangkan aset pengetahuan perusahaan.
Melanjutkan presentasi VP Manajemen Pengetahuan Tentamia, Yudistian yang juga tergabung dalam Tim Knowledge Management PLN Pusat menceritakan hasil kunjungannya ke Microsoft Indonesia mengenai budaya pembelajar di sana yang diciptakan sedemikian rupa dimana setiap orang dalam perusahaan itu diharuskan membuat 4 tulisan setiap minggunya.
Pada organisasi pembelajar pasti harus ada knowledge managementnya.
Alasan perlunya Knowledge Management :
Menghindari melakukan kesalahan yang sama
Menghindari mengulang proses penemuan (re-inventing the wheel)
Mampu mengulang kesuksesan dan mempertahankannya
Mempersingkat siklus belajar
Membuat keputusan berdasar pengetahuan yang mendalam
Untuk mencapai effisiensi organisasi
Untuk mengelola intelektual capital
Untuk menghadapi tantangan yang muncul dari persaingan global
Supaya menghasilkan pelayanan prima
Agar tetap unggul dalam persaingan
Analisis Permasalahan Budaya Berbagi di PLN
  1. Adanya forum-forum menunjukkan bahwa kemauan berbagi pengetahuan sudah tumbuh, namun belum mencakup seluruh perusahaan, karena belum didukung KM yang terintegrasi.
  2. Kemauan untuk mereplikasi (menerima pengetahuan) lebih rendah daripada kemauan memberi, karena…
Kuatnya egosektoral
Karyawan belum dewasa (individualis, merasa lebih baik)
Regulasi/kebijakan belum mendukung
Daya adaptasi masih rendah (comfort zone membuat malas, bila kepepet baru semangat)
  1. Budaya potensial : ”Jiwa Korsa yang Tinggi”
Tipsnya, bila selama ini manajer sibuk berpikir sendiri, maka mulai sekarang seluruh anggota perusahaan diupayakan untuk ikut berpikir. à Melalui CoP (Community of Practice). Siapa tahu masukan dari bawah justru bisa menjadi solusi. Misal, berikan tugas mengenai isu-isu yang dihadapi seperti tentang Losses.
CoP sebaiknya dilakukan perFUNGSI bisa jadi akan terlalu luas kalau perbidang masih terlalu luas. Kunci keberhasilan dari pelksanaan CoP adalahkepercayaan terhadap rekan yang berbagi pengetahuan danketerbukaan.
Sebelum mengakhiri sosialisasinya, Tim KM PLN Pusat mempersilakan bagi Tim CoP unit yang ingin berkonsultasi agar dapat menghubungi kontak person berikut :
Yudistian Yunis, Sekretaris Tim KM – Kantor PLN Pusat . E-Mail:yudistian.yunis@pln.co.id.
Menutup acara sosialisasi, GM Haryanto menyampaikan bahwa dirinya dapat merasakan kerisauan rekan-rekan unit yang memiliki SDM yag terbatas dan tersebar sementara tugas-tugas yang ada cukup banyak sehingga sulit untuk memenuhi target.
Sehubungan dengan hal itu GM Haryanto menyatakan bahwa PLN benar-benar membutuhkan orang-orang yang memiliki semangat tinggi dan militan, terutama para Champion dari generasi muda. Untuk itu GM sangat berharap agar para pegawai senior dapat aktif membantu membentuk generasi muda PLN menjadi insan yang lebih berkualitas dari semua aspek.
KM Merupakan salah satu tools untuk mempermudah komunikasi. Pembentukan CoP merujuk pada buku panduan yang frekuensi pelaksanaannya tidak dibatasi pada waktu, bisa jadi per triwulan, yang pasti melalui TI kita bisa melakukan komunikasi untuk mendukung CoP.
GLOSSARY :
SASARAN KM :
  • Membangun organisasi pembelajar dengan melancarkan aliran aset pengetahuan dan mendorong tumbuhnya inovasi yang relevan dengan strategi perusahaan
TUJUAN KM :
  • Memfasilitasi semua karyawan perusahaan untuk menjadi “Knowledge Worker”, yang memiliki semangat dan kemampuan untuk:
    • Berbagi pengetahuan dan kemudian melakukan kodifikasi dan implementasi pengetahuan eksplisit untuk meningkatkan kinerja.
    • Melakukan inovasi berkelanjutan untuk meningkatkan daya saing perusahaan.
  • Mempertahankan dan memelihara aset pengetahuan dari kehilangan atau ketinggalan jaman, dan kemudian menumbuh-kembangkan lebih cepat dan lebih efektif.
  • Mengintegrasikan seluruh aset pengetahuan dari setiap unit bisnis, menjadi aset perusahaan
  • Mengsinkronkan Strategi Bisnis PLN dengan operasional
  • Mengintegrasikan KM, Organisasi Pembelajar dan proses inovasi di PLN
STRATEGI KM :
  • Membangun budaya dan kesadaran berbagi pengetahuan serta menyediakan alat bantu dan forum-forum dalam aktifitas berbagi pengetahuan
  • Menanamkan KM ke dalam proses bisnis dan menyediakan infrastruktur KM berupa teknologi kolaboratif
  • Menjadikan inovasi sebagai pendorong bisnis, baik nasional maupun internasional.
DEFINISI :
  • Knowledge Management ekivalen sebagai vitamin untuk kemajuan perusahaan secara bersama
  • Knowledge (pengetahuan) adalah kumpulan  informasi yang terstruktur dan mempunyai makna
  • Knowledgetidak adayang terbaik, yang ada untuk selalu diperbaiki melalui proses sharing.
  • Knowledge (pengetahuan)  is the capability to take effecitive  action
  • Learning  is the process  of turning information  into knowledge
  • Sharing :  adalah proses berbagi pengetahuan diantara masyarakat yang mempunyai pengalaman atau minat dalam pengetahuan tsb.
  • Tacit knowledge,  knowledge yang berada di benak pribadi-pribadi yang muncul pada saat mengambil tindakan atau keputusan.
  • Explicit knowledge, knowledge yang dapat dituliskan atau direkam atau diucapkan.

credit to : http://www.plnsulselra.co.id/detilnews.aspx?id=105

Tags:

Bahkan dalam Organisasi Belajar, masalah yang mungkin ditemui kios proses belajar atau menyebabkan hal itu mengalami kemunduran. Sebagian besar masalah timbul dari suatu Organisasi tidak sepenuhnya merangkul semua aspek yang diuraikan di atas diperlukan dalam Organisasi Belajar. Jika masalah ini dapat diidentifikasi, bekerja dapat mulai memperbaiki mereka.

  • Organisasi penghambat untuk belajar

Beberapa organisasi telah menemukan sulitnya untuk merangkul penguasaan pribadi karena sebagai sebuah konsep itu adalah manfaat tak berwujud dan tidak dapat diukur.  Selain itu, penguasaan pribadi dapat dilihat sebagai ancaman bagi organisasi. Ancaman ini dapat menjadi nyata, seperti Senge menunjukkan, bahwa “untuk memberdayakan orang-orang dalam organisasi dapat menjadi kontraproduktif”. Dengan kata lain, jika individu tidak terlibat dengan sebuah visi bersama, penguasaan pribadi dapat digunakan untuk memajukan visi mereka sendiri..

Dalam beberapa organisasi kurangnya budaya belajar dapat menjadi penghalang untuk belajar. Hal ini penting agar tercipta sebuah lingkungan di mana individu dapat berbagi pembelajaran, sehingga lebih banyak orang dapat memperoleh manfaat dari pengetahuan dan individu menjadi berdaya.

Sebuah Organisasi Pembelajar ( Learning Organization ) perlu merangkul sepenuhnya penghapusan struktur hirarkis tradisional. Ini adalah sebuah penghalang untuk pengembangan visi bersama dan berbagi pengetahuan.

  • Individu penghambat untuk belajar

Perlawanan terhadap pembelajaran dapat terjadi dalam Learning Organization,jika tidak tersedia cukup kesadaran pada tingkat individu. Hal ini sering dihadapi oleh orang-orang yang merasa terancam oleh perubahan atau percaya bahwa mereka memiliki paling banyak kehilangan. Orang yang sama yang merasa terancam oleh perubahan cenderung memiliki pikiran tertutup dan tidak bersedia untuk menjalin keterlibatan dengan model mental. Kecuali diimplementasikan secara koheren di seluruh organisasi,

Mereka melihat pembelajaran sebagai sesuatu yang elitis dan terbatas pada tingkat yang lebih senior dalam organisasi. ika ini kasusnya, belajar tidak akan dipandang sebagai visi bersama.

Jika pelatihan dan pengembangan adalah wajib, itu dapat dilihat sebagai bentuk kontrol, bukan suatu bentuk pengembangan pribadi dan mengejar penguasaan pribadi dibandingkan mengejar tujuan organisasi secara bersama.

Tags:

Proses Learning Organization

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

b91bzmlja0

Tags:
Newer Posts »