Inti dari organisasi pembelajaran adalah  system thinking, di mana di dalamnya anggota organisasi diajak berpikir bahwa seluruh tindakan anggota organisasi akan berdampak pada sistem, sebaliknya apa yang terjadi dalam sistem akan berdampak pula pada anggota organisasi. Dalam ruang lingkup organisasi,  system thinking akan membangkitkan  sense of belonging terhadap organisasi, di mana seseorang akan termotivasi untuk memajukan organisasinya, tidak akan membiarkan sesuatu menghalangi kesuksesan organisasinya karena kelangsungan organisasi akan menentukan kelangsungan eksistensi dirinya. Hal inilah yang kemudian menjadi energi terbesar dalam organisasi untuk terus maju dan berkembang seiring dengan perubahan zaman.

Permasalahannya sekarang adalah, mungkinkah model organisasi pembelajaran tersebut diterapkan dalam kerangka pembaharuan birokrasi pemerintahan daerah, mengingat birokrasi pemerintah daerah berbeda dengan organisasi privat/swasta karena ukurannya yang relatif besar dan cenderung hirarkhis, sehingga sulit untuk mengikuti perubahan zaman dengan cepat. Apalagi jika dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang turut bermain dalam lingkup birokrasi tersebut, sehingga keinginan untuk berubah atau menerapkan  system thinking dalam birokrasi pemerintahan seringkali terbentur pada konflik kepentingan.

Selain itu, birokrasi pemerintahan daerah merupakan organisasi non profit sehingga keberhasilan organisasi sulit diukur, sense of belonging sulit terwujud karena bekerja dengan baik ataupun jelek tidak akan berdampak pada  reward  maupun punishment. Ada pepatah dalam birokrasi yang mengatakan bahwa pintar atau bodoh toh gajinya sama. Atau anekdot 704 yang merupakan singkatan dari masuk pukul 7 pagi, pulang pukul 4 sore, di tengah-tengah jam kerja kosong (karena berada di luar contoh ini adalah hal riil yang terjadi dan menunjukkan betapa mekanisme reward and punishment tidak berjalan dalam birokrasi pemerintahan. Budaya kerja semacam ini tidak mendorong PNS untuk semakin kreatif, inovatif, ataupun berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya. Kriteria promosi pun menjadi tidak pasti sehingga promosi seringkali diidentikan dengan kedekatan seseorang dengan orang-orang tertentu dalam organisasi. Hal semacam ini justru menjadi pembelajaran yang negatif, yang pada akhirnya memberikan kesan buruk terhadap organisasi tersebut karena masyarakat sebagai pengguna jasa juga akhirnya merasakan ketidakprofesionalan birokrasi yang ditandai dengan kelambanan, longgarnya pengawasan,  peluang penyimpangan dalam bentuk KKN, dan berbagai patologi birokrasi lainnya.

Sekalipun birokrasi sebagai organisasi publik yang bersifat non profit memiliki karakteristik yang berbeda dengan organisasi privat, namun bukan berarti bahwa model organisasi pembelajaran tidak mungkin diterapkan. Yang perlu dilakukan adalah melakukan adaptasi terhadap model ini, khususnya dengan menerapkan nilai-nilai organisasi pembelajaran untuk memecahkan patologi birokrasi.

Tags:

No Comments »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL

Leave a comment