case III : KM dalam pelayanan publik

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 13, 2010

Organisasi publik seperti Pemda dan sektor publik pada BUMN ( Rumah Sakit, PLN, PAM, Telkom, JasaMarga, dan lain-lain) telah menghadapi tuntutan semakin gencar dalam dua dekade belakangan ini dalam peningkatan pelayanan. Masyarakat dan pelanggan menuntut kinerja layanan yang lebih efisien dan lebih baik (Moynihan, 2006). Namun menurut riset Barzelay (2001), kemajuan organisasi publik dalam hal berkinerja belum juga terlalu nampak.

Pertanyaannya, mengapa pelayanan organisasi publik tidak membaik ? Salah satu faktornya adalah knowledge (Best Practices) yang dimiliki organisasi publik sangat minim. Organisasi publik terbatas dalam menguasai best practices untuk memberi layanan yang efektif dan rendah daya saingnya (Jorgensen, 2004).

Trend Organisasi Publik
Dari waktu ke waktu organisasi publik semakin membesar baik dalam jumlah karyawan maupun tuntutan masyarakat dalam pelayanan. Terdapat stagnasi kapabilitas organisasi karena knowledge/ pengetahuan yang dimiliki organisasi tidak menyebar. Selain itu daya dukung keuangan semakin lemah dan intervensi politik semakin tinggi. Disisi lain demand masyarakat terus meningkat.

Masyarakat dan pelanggan semakin kritis dan menuntut perbaikan layanan. Pertanyaan yang selalu muncul, kapan pelayanan bisa efisien, lebih cepat, lebih bersahabat dan harga murah ? Masyarakat saat ini mengharapkan layanan publik diberikan secara efektif, tepat waktu dan ekonomis. Pada era globalisasi saat ini organisasi publik makin dituntut pelayanan profesional yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi (knowledge worker).

Namun disadari banyak anggota organisasi publik tidak ada waktu meningkatkan pengetahuan karena status kepegawaian sudah terjamin. Pengetahuan baru dianggap hanyalah pilihan kebiasaan, tetapi tujuan sama dan sibuk dengan tugas rutin. Tambahan pengetahuan berarti pikiran makin ruwet, ide atau teknik baru menjadi misterius. Ini semua membuat pelayanan tidak bergerak ke arah yang lebih baik.

Berdasarkan pengamatan banyak organisasi sering tidak tahu pengetahuan apa saja yang dimiliki organisasi apalagi pengetahuan karyawannya. Pengetahuan banyak dimiliki karyawan aktif maupun karyawan yang sudah pensiun. Ini terjadi karena knowledge management tidak diperkenalkan di lingkungan organisasi. Kondisi ini sangat menonjol pada organisasi sektor publik.

Menuju Knowledge Worker
Jorgensen (2004) menyatakan bahwa organisasi / perusahaan yang tidak memiliki knowledge tidak akan mampu menghadirkan pelayanan yang lebih baik.Knowledge yang dimiliki anggota organisasi saat ini dan knowledge yang harus dimiliki anggota organisasi untuk mencapai tuntutan masyarakat dan pelayanan sangat besar. Ini disebut Knowledge Gap (Zack, 1999). Adanya knowledge gap berakibat munculnya capacity gap anggota organisasi (Grindle
dan Hilderbrand, 1995). Diperlukan cara menghilangkan / meminimalkan knowledge gap melalui implementasi Knowledge Management (KM). Knowledge Management (KM) diyakini mampu meminimalisasi knowledge gap di lingkungan organisasi.

Di Malaysia negara tetangga kita, diprakarsai Dr. Mahathir Mohamad Putrajaya dan para elit politik telah merumuskan dan bertekat mencapai “Wawasan 2020” dengan salah satu sasarannya bahwa setiap orang tidak lagi sebagai strong muscle worker tetapi menjadi knowledge worker (Syed – Ikhsan & Rowland, 2004). Hampir di setiap departemen pemerintahan di evaluasi dan di analisis seberapa jauh sudah menerapkan Knowledge Management (KM).

Berbeda dengan di Indonesia yang tidak mau ketinggalan, tapi sedikit simpang siur tentang penerapan Knowledge Management. “Knowledge” di Indonesia dianggap ke-butuhan profesi Information Technology (IT), Information, Communication and Technology (ICT), e- Commerce seperti terwujudnya Masyarakat Telematika Nusantara Berbasis Pengetahuan di Tahun 2020. Padahal sesungguhnya knowledge harus mencapai akar rumput di setiap line organisasi untuk dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat dan pelayanan karena Knowledge adalah dinamis dan humanis (Nonaka, 1995). Menurut studi lainnya oleh Liebowitz & Chen (2003) menemukan bahwa praktek implementasi KM pada sektor publik merupakan tantangan berat karena : 1).

Pola kerja di pemerintahan dan BUMN didominasi oleh hirarki dan birokrasi sulit menerapkan knowledge sharing dan transfer dan 2). Knowledge dikalangan pegawai negeri / karyawan BUMN disimpan di hati sedalam-dalamnya, untuk menjamin kenaikan karir. Sesungguhnya dengan penerapan KM di lingkungan organisasi akan terlihat bahwa : 1). Knowledge adalah pengetahuan yang dapat memberi nilai tambah, knowledge (aset yang tak berwujud) akan bertambah besar bila dimanfaatkan; 2). Knowledge Transfer atau Sharing berupa penyampaian.

knowledge
dari satu tempat, orang, dan pemilikan kepada pihak lain; 3). Merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja seluruh organisasi melalui berbagi pengetahuan (Knowledge Sharing) dan 4). KM akan berfungsi membangun mental anggota organisasi dalam kewirausahaan, dengan pengetahuan berinovasi dan menguasai masalah dan solusi tuntutan pelayanan pelanggan dan masyarakat.

Penutup
Diperlukan usaha-usaha yang lebih konkrit untuk mengimplementasikan Knowledge Management (KM) di lingkungan organisasi. Sangat diyakini dengan penerapan Knowledge Management di lingkungan organisasi dapat meningkatkan pelayanan publik yang selalu dituntut oleh masyarakat dan pelanggan dan sekaligus akan terbentuk knowledge worker yang menjadi impian dan tujuan organisasi di masa mendatang.

credit to : http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=46731:knowledge-dan-pelayanan-publik&catid=25:artikel&Itemid=44

Tags:

No Comments »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL

Leave a comment