Case v : Cultural Development di DPdB

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 14, 2010

Berbagai kajian kontemporer mengenai perbaikan pemerintahan yang kita temui, lebih banyak menggunakan asumsi bahwa organisasi pemerintah sama dengan organisasi bisnis. Sehingga resep-resep perbaikan untuk organisasi bisnis diterapkan untuk memperbaiki organisasi pemerintah. Kita mengenal konsep Total Quality Management (TQM), rekayasa ulang proses bisnis, restrukturisasi, perampingan, reengineering, redesain, atau semacamnya, yang diterapkan untuk memperbaiki pemerintahan. Namun harus diakui, konsep tersebut (selanjutnya kita sebut dengan konsep perubahan) belum sepenuhnya cespleng untuk memperbaiki kinerja organisasi pemerintah, bahkan ada pula yang justru menemui kebuntuan.
Kekeliruan mendasar adalah pada pemakaian asumsi tadi. Organisasi bisnis memiliki karakter yang berbeda dengan organisasi pemerintah. Organisasi bisnis hidup dalam sistem yang relatif stabil dan pada umumnya berfungsi dengan baik, yaitu pasar. Organisasi bisnis menghadapi persaingan, memiliki misi yang jelas terhadap laba yang mereka inginkan, mengukur kinerja, dan bertanggung jawab terhadap pelanggan. Sedang organisasi pemerintah berada dalam sistem yang lebih besar di luar kendali mereka, mencakup sistem pemerintahan di atasnya. Sistem yang tidak bisa lepas dari upaya-upaya politik. Organisasi pemerintah tidak terbiasa menghadapi persaingan, jarang yang memiliki misi yang jelas, jarang pula yang dapat mengukur kinerja, apalagi pertanggungjawabannya kepada pelanggan (stakeholder).

DEFINISI CULTURAL DEVELOPMENT
Perbedaan karakter yang dimiliki, melahirkan budaya organisasi yang berbeda pula pada organisasi bisnis dan pemerintah. Inilah yang terabaikan dari pemakaian asumsi tadi. Budaya pada organisasi pemerintah tidak dapat didefinisikan sebagai budaya organisasi dalam teori manajemen umum. Dalam pemerintahan, budaya merupakan subsistem yang keberadaannya strategis, bahkan menentukan hingga ke taraf pencitraan publik. Contoh sederhananya adalah ketika orang mengenal pemerintah karena budayanya yang berbelit-belit lagi korup. Oleh karena itu, untuk memperbaiki organisasi pemerintah, dimensi budaya harus dilibatkan. Budaya menjadi variabel tetap perubahan. Dengan kata lain, konsep perubahan yang dicanangkan, entah itu konsep manajemen bisnis, reformasi, ataupun program kebijakan lain,  harus dijadikan sebagai bagian dari budaya pada organisasi pemerintah tersebut.
Menjadikan konsep perubahan sebagai budaya inilah yang kita sebut sebagai pengembangan kultural (cultural development) . Cultural merupakan bentuk adjective dari culture (budaya), sedang development memiliki makna developing; come or bring gradually into existence. Sehingga secara harfiah, cultural development kurang lebih merupakan proses bertahap menuju sebuah realitas budaya.

SYARAT-SYARAT CULTURAL DEVELOPMENT
Pengembangan kultural merupakan “perubahan” manusia. Dilakukan oleh manusia, yang diubah pun manusia, bukan organisasi. Syarat dasar dari adanya perubahan ini adalah adanya manusia yang menjadi pionir perubahan. Sang pencetus gagasan, yang jumlahnya dalam organisasi biasanya tidak signifikan.
Karena objeknya adalah manusia, yang memiliki ciri yang khas, maka pengembangan kultural menjadi sebuah proses yang lama. Lebih dari itu, dalam sebuah institusi, orang-orang memiliki kelompoknya masing-masing, yang dalam kaca mata budaya disebut sebagai subkultur. Subkultur dalam sebuah institusi terbentuk karena berbagai kesamaan yang dimiliki, bisa kesamaan angkatan masuk, jender, daerah asal, unit kerja, almamater, atau yang lain. Di tingkat subkultur inilah penghambat utama perubahan berada. Dengan karakteristik demikian, maka syarat-syarat untuk melakukan pengembangan kultural adalah adanya:
a.    Komitmen pemimpin di setiap level
Pengembangan kultural harus dimulai dengan goodwill pengambil kebijakan dari struktur paling atas. Kemudian juga pemimpin pada level di bawahnya. Tugas pemimpin di setiap level ini adalah mengkomunikasikan nilai-nilai baru kepada bawahannya. Tanpa kemauan dan komitmen pemimpin, perubahan kultural mustahil dilakukan.
b.    “Kesepakatan” subkultur
Merubah secara kultur mensyaratkan adanya kesediaan setiap anggota organisasi terhadap perubahan itu sendiri. Oleh karenanya anggota organisasi harus dilibatkan dalam perubahan. Buat mereka berpartisipasi, bahkan berikan kepemilikan perubahan kepada mereka. Karena pada umumnya anggota organisasi mengelompok pada subkulturnya, maka perubahan kultural harus pula ‘disepakati’ oleh subkultur yang ada. Hal ini bisa diupayakan dengan jalan mencari nilai-nilai kolektif lintas subkultur untuk dijadikan perangkat ‘kesepakatan.
c.    Adanya stamina dan daya tahan yang cukup
Sebagaimana disebutkan di atas, proses pengembangan kultural merupakan proses yang panjang. Proses ini mensyaratkan komitmen kepemimpinan, komunikasi yang rutin, hingga pengendalian subkultur, yang tentunya memerlukan stamina dan daya tahan yang cukup bagi para pemimpin, agen perubahan, dan organisasi itu sendiri.

TAHAPAN CULTURAL DEVELOPMENT
Penulis membagi tiga tahapan yang harus dilalui dalam proses pengembangan kultural ini. Masing-masing tahapan tersebut adalah culture mapping (pemetaan budaya), culture building (pembangunan budaya), dan culture maintenance (pemeliharaan budaya).

1.    Culture mapping
Tahap awal yang harus dilakukan adalah memetakan budaya yang sudah ada pada suatu organisasi. Tujuannya setidaknya ada dua, yaitu yang pertama untuk mengetahui secara umum corak budaya yang ada, apakah cocok dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep perubahannya atau tidak. Dan yang kedua, sekaligus untuk mengidentifikasi melalui pintu mana konsep perubahan tersebut akan dikembangkan sebagai budaya, tergantung dari sifat budaya yang ada terhadap konsep perubahan yang diajukan. Di sini penulis menawarkan tiga alternatif pintu masuk, yakni adaptasi, sinergi, dan substitusi kultur.
Sekarang mari kita memetakan budaya yang ada pada organisasi pemerintah. Organisasi pemerintah merupakan organisasi ciptaan sektor politik, strukturnya hierarkis berlapis-lapis, dan diorganisir secara spesifik dan birokratis.  Aturan kepangkatan sangat menentukan, hingga membelenggu keberanian pegawai. Job description diuraikan sedemikian rupa secara rinci, begitu juga dengan prosedur dan aturan kerja. Apa yang harus dikerjakan sudah digariskan di muka, pegawai tinggal melaksanakannya saja. Corak sistem seperti ini akan melahirkan kondisi di mana inisiatif menjadi berisiko, sekaligus lingkungan yang statis.
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa kondisi yang tercipta dari sistem yang terlalu hierarkis, rinci dan prosedural akan memunculkan kecenderungan sikap pegawai yang takut untuk berinisiatif dan membuat keputusan, penyimpangan, serta kehilangan motivasi.  Ketidakberanian berinisiatif dan membuat keputusan, secara akumulatif dapat melemahkan kadar kepemimpinan seseorang, penyimpangan akan berpengaruh pada moralitas, sedang kehilangan motivasi akan berdampak pada hilangnya harapan akan masa depan.
Jika kita lihat, secara umum budaya pada organisasi pemerintah merupakan budaya yang kontraproduktif dengan konsep perubahan manapun. Budaya takut, perilaku menyimpang (korupsi, kolusi, nepotisme), dan minim motivasi, merupakan budaya yang berlabel negatif, tidak menunjang, bahkan resisten terhadap perbaikan. Kalau demikian adanya, maka cara yang paling masuk akal untuk membudayakan konsep perubahan pada organisasi pemerintah adalah dengan substitusi kultur.

2.    Culture building
Culture building merupakan proses artikulasi nilai-nilai pada konsep perubahan menjadi bagian dari budaya yang ada, sesuai dengan pintu masuk yang dilalui pada tahap 1. Pintu masuk yang dipilih akan menentukan pola pembangunan pada tahap ini. Pola di sini lebih diartikan sebagai “sikap” perubahan terhadap unsur-unsur pembentuk budaya.
Budaya sendiri terbentuk dari pola pikir, perasaan, dan kebiasaan. Pola pikir merupakan peta mental dan persepsi anggota organisasi. Pola pikir sangat terkait dengan paradigma (cara pandang) yang ada. Sedang perasaan lebih terkait akan adanya komitmen emosional anggota organisasi terhadap keberadaan organisasi itu sendiri. Dan komitmen emosional terwujud dari motif-motif yang ada dalam diri anggota organisasi. Paradigma dan motif bersama-sama mempengaruhi attitude anggota organisasi, yang diaktualisasikan melalui kebiasaan-kebiasaannya. Dengan kata lain, paradigma, motif, dan attitude lah unsur-unsur yang membentuk budaya.
Sebagaimana telah kita petakan pada tahap 1 di atas, konsep perubahan pada organisasi pemerintah akan dibangun melalui pintu substitusi kultur. Terhadap unsur pembentuk budaya, proses substitusi kultur menawarkan nilai-nilai yang sama sekali baru. Substitusi kultur berarti mengupayakan hadirnya paradigma, motif, dan attitude yang baru. Lagi-lagi bukan untuk menggeser budaya lama, tetapi lebih kepada menjadikannya pijakan bagi kulturisasi konsep perubahan yang diajukan.
Lalu bagaimanakah upaya menghadirkan paradigma, motif, dan attitude yang baru itu?

a.    Menghadirkan paradigma baru
Stephen Covey menyebutkan bahwa paradigma adalah cara kita “melihat” dunia, berkaitan dengan persepsi, mengerti, menafsirkan. Paradigma memberikan kita asumsi terhadap sesuatu. Secara umum orang akan sulit melepas asumsinya. Untuk menghadirkan pardigma baru, kita harus menyajikan suatu realitas yang tidak dapat diasumsikan. Fakta yang sulit dipersepsikan dengan perangkat paradigma lama. Kita memberikan keadaan-keadaan yang berbeda. Kita berikan anomali- pengecualian. Ketika anomali menumpuk, orang mulai dapat meninggalkan paradigma lamanya.
Namun proses anomali ini panjang, sehingga kita perlu mempercepatnya dengan pemberian sugesti. Dr. Gerungan memaparkan bahwa sugesti adalah suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Secara umum orang akan menerima sugesti karena disosiasi, suara mayoritas, otoritas, ‘will to believe’, dan terhambat pikirannya.
Sebagai akselerator, sugesti harus dilakukan secara rutin. Sugesti dapat dilakukan melalui pertemuan formal di setiap atau lintas unit kerja.

b.    Menghadirkan motif baru
Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Dia adalah reason to do. Dengan alasan-alasan inilah kita membuat komitmen emosional terhadap sesuatu (organisasi).
Untuk menghadirkan motif baru pada diri seseorang, kita harus mengetahui apa saja yang membuat seseorang itu  termotivasi (memiliki motif terhadap sesuatu). Menurut John Maxwell, hal-hal yang memotivasi orang adalah adanya partisipasi mereka dalam peran dan tujuan, keberadaannya diakui, mengalami kekecewaan positif, serta memiliki harapan yang jelas. Dari sini dapat kita lakukan upaya menghadirkan motif baru dengan melibatkan anggota organisasi dalam perubahan, mengadakan mekanisme reward and punishment yang adil, terukur, dan transparan untuk mengakui keberadaan dan kekecewaan positif yang mereka alami, serta melakukan manajemen harapan yang benar.
c.    Menghadirkan attitude baru
Attitude dapat kita definisikan sebagai sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu. Dari pengertian tersebut tampak bahwa attitude dipengaruhi oleh paradigma (sikap pandangan) dan motif (penggerak sikap perasaan).
Karena pada dasarnya attitude itu terbentuk karena pengaruh paradigma dan motif yang ada, maka upaya menghadirkan attitude baru tergantung dari upaya menghadirkan paradigma dan motif yang baru pula. Namun untuk menjadikannya attitude, diperlukan sebuah pembiasaan. Pembiasaan inilah yang harus diupayakan. Pembiasaan (upaya menjadikan sesuatu, kebiasaan) dapat dilakukan dengan cara menciptakan iklim pembiasaan. Iklim pembiasaan tercipta dari dinamisasi sengaja lingkungan yang mendukung perubahan secara terus-menerus, disertai fasilitas yang menunjang. Dinamisasi ini dapat dibuat secara fisik dan psikologis di lingkungan organisasi.

3.    Culture-maintenance
Tahap ini merupakan tahap yang menentukan akan bernafas atau tidaknya proses cultural development yang dilakukan. Pada dasarnya maintenance di sini berarti menjaga agar kulturisasi yang dilakukan tetap eksis (keep in existence), hingga tujuannya tercapai.
Maintenance dilakukan terkait dengan sifat perubahan kultural yang rumit, lama, sekaligus membutuhkan energi yang besar. Dan untuk mengelola sesuatu yang besar dibutuhkan disiplin tinggi yang berkesinambungan. Oleh karenanya maintenance dapat dilakukan dengan memoles segala proses yang berjalan dengan budaya disiplin. Budaya disiplin berarti menjaga kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan perubahan yang seharusnya dijaga. Budaya disiplin diterapkan untuk mengantisipasi kemungkinan stagnasi proses perubahan kultural dengan tingkat keberhasilan berapapun.
Rhenald Khasali menyebutkan bahwa pilar budaya disiplin adalah discipline people, discipline action, dan discipline thought. Menurutnya, dalam memperkuat budaya suatu institusi, discipline people merupakan prasyarat yang sangat mutlak. Discipline people itu sendiri, menurut Rhenald, dapat dibentuk dengan rekrutmen yang terbaik, berikan orientasi dan standar yang terbaik, jalankan ritual yang benar, letakkan pada kursi yang tepat, keluarkan yang di bawah standar, dan adanya jiwa kepemimpinan ekstra.

CULTURAL DEVELOPMENT PADA DJBC
Sebagai salah satu organisasi pemerintah, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), juga menemui tantangan yang sama sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini. Terlebih DJBC sebagai institusi global, yang diharapkan juga mampu menangani global operation. Sebagaimana kita ketahui, perubahan lingkungan strategis di tingkat global, serta perkembangan yang sangat cepat di bidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi, berdampak pada meningkatnya tuntutan masyarakat perdagangan dan perekonomian dunia terhadap kinerja institusi kepabeanan di setiap negara. Sehingga perubahan menjadi institusi yang lebih baik, bagi DJBC memang sudah tidak dapat dielakkan lagi.
DJBC sendiri telah mentargetkan dirinya di masa yang akan datang sebagai institusi pabean kelas dunia di bidang kinerja dan citra. Salah satu upaya serius untuk mewujudkan visi tersebut adalah adanya penyusunan Program Reformasi di Bidang Kepabeanan atau yang sering dikenal dengan Program Reformasi Kepabeanan (Customs Reform). Customs Reform merupakan konsep perubahan paling aktual bagi DJBC sekarang ini.
Oleh karenanya, cultural development pada DJBC dapat didefinisikan sebagai upaya menjadikan Customs Reform sebagai bagian dari budaya DJBC itu sendiri. Artinya, Customs Reform akan efektif dan berkontribusi nyata terhadap tujuan, ketika ia menjadi budaya. Sehingga otomasi sistem dan kecepatan pelayanan, kemitraan yang benar dengan stakeholder, anti penyelundupan dan under valuation, serta adanya integritas, bukanlah sekedar program saja, melainkan menjadi budaya baru di DJBC.

credit to :

http://sipetualang.com/?p=169

Tags:

2 Comments »

  1. Good day!This was a really magnificentsuper Topics!
    I come from roma, I was luck to come cross your blog in bing
    Also I obtain a lot in your blog really thanks very much i will come every day

    Comment by bet365 italia — October 16, 2010 @ 2:54 PM

  2. hello!This was a really fine blog!
    I come from itlay, I was fortunate to discover your website in baidu
    Also I obtain much in your subject really thanks very much i will come later

    Comment by bet365 italia — October 17, 2010 @ 12:19 PM

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL

Leave a comment