SPIRITUALITAS DITEMPAT KERJA

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 20, 2010

Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan suatu organisasi sangat tergantung pada bagaimana orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Sarana prasarana, sistem, dan keuangan yang baik akan tidak memiliki arti lagi jika orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut memiliki kompetensi dan komitmen yang rendah. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan mudah dengan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk meningkatkan kompetensi tersebut, namun untuk meningkatkan komitmen diperlukan lebih banyak hal lagi.

Rendahnya komitmen dapat disebabkan oleh banyak hal, tetapi seringkali secara potensial terjadi karena orang-orang di dalam organisasi tidak tahu apa yang dapat diperolehnya dengan pekerjaannya itu selain hanya sekedar uang, orang menjadi tidak berbahagia dengan pekerjaannya, kemudian menjadi bosan, apatis, dan pada akhirnya menjadi tidak produktif. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di perusahaan menunjukkan hal yang serupa. Cacioppe dalam The Leadership & Organization Development Journal (dalam Kompas on line, 2008) mengungkapkan bahwa Pertumbuhan ekonomi tidak membuahkan kebahagiaan karena terjadi konsumerisme. “Kita bekerja dan membayar sesuatu, bekerja lagi dan lebih banyak lagi yang kita bayar. Kita harus keluar dari lingkaran ini’. Kenyataan bahwa kita telah mengikuti suatu sistem keyakinan yang tidak lengkap dan dangkal, hasilnya membuat kita kehilangan makna dan merasa tidak sehat dalam hidup.

Hasil penelitian dalam buku Megatrends 2010 (Aburdene, 2006) mengungkap bahwa pencarian atas spiritualitas adalah megatrend terbesar di masa sekarang ini. Aburdene yakin bahwa trend spiritualitas yang kini marak akan menjadi megatrend dalam beberapa tahun ini dan mendatang. Bahkan transformasinya tidak hanya pada tingkat individu, namun sudah mencapai tingkat institusi atau korporasi. Sebelum era kesadaran spiritual datang, dunia bisnis cenderung mengesampingkan nilai-nilai transpersonal. Perusahaan, tanpa disadari, telah merubah fungsinya dari sekedar ”mencetak-uang” (money-making) menjadi ”mengeruk-uang” (money-grubbing) dan pengerukan uang tidak baik untuk bisnis (Zohar & Marshall, 2005).

Kedua hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses bekerja diperlukan kemampuan individu untuk dapat memaknai pekerjaannya, sehingga individu tersebut menjadi berbahagia, sehat hidupnya dan pada akhirnya tidak hanya menjadi produktif, tetapi juga dapat melahirkan berbagai ide yang inovatif. Untuk membuat orang-orang didalam organisasi dapat memahami makna dari pekerjaannya tersebut lahirlah disiplin baru yang disebut dengan spiritualitas di tempat kerja (workplace spirituality), bagian khusus dari budaya organisasi (organizational culture).

Workplace spirituality adalah konsep baru dalam model manajemen dan perilaku organisasi, khususnya budaya organisasi. Konsep ini pun sebenarnya telah digambarkan dalam konsep-konsep perilaku organisasi seperti values, ethics, dan sebagainya. Hal ini dijelaskan oleh Robbins (2005) sebagai berikut, The concept of workplace spirituality draws on our previous discussion of topics such as values, ethics, motivation, leadership, and work/life balance.

Robbins (2005) mendefinisikan workplace spirituality sebagai berikut, “Workplace spirituality recognizes that people have an inner life that nourishes and is nourished by meaningful work that takes place in the context of community. Organizations that promote a spiritual culture recognize that people have both mind and a spirit, seek to find meaning and purpose in their work, and desire to connect with other human being and be part of community”. Pemahaman lain mengenai konsep ini dijabarkan oleh Sauber (2003) sebagai berikut, “Spirit in the workplace is leaders learning to lead instead of manage. It is an understanding that organizations are in service, not just providing a service. It is searching one’s self for his/her purpose in l ife and tapping into that pass ion. It is embracing and appreciating the gifts and talents each and every employee brings to their job each and every day – day in and day out”.

Istilah yang biasanya digunakan untuk menjelaskan konsep ini adalah workplace spirituality, spirituality in the workplace, spirituality at work, spiritual workplace, spirit at work, atau spiritualitas kerja. Istilah-istilah ini merujuk pada konsep yang sama, yaitu menerima manusia (karyawan) sebagai mahluk spiritual (spiritual being) dan organisasi atau tempat kerja harus memfasilitasi perkembangan dimensi spiritual ini sebagai bentuk penerimaan bahwa setiap karyawan adalah human being yang membutuhkan nilai dan makna. Istilah spiritualitas yang dimaksud merujuk pada sesuatu yang universal, yaitu meaning, purpose, dan value.

Sebagai konsep baru, banyak pihak yang beranggapan workplace spirituality adalah pengelolaan agama. Hal ini dikarenakan kata spiritualitas sangat berkaitan erat dengan makna Ketuhanan, dengan kajian teologi dan filsafat, dengan psikologi agama, dan dengan konsep mengenai agama itu sendiri. Setiap agama mengajarkan konsep spiritualitas, namun pembahasan workplace spirituality tidak berkaitan dengan suatu agama tertentu, dengan konsep kesalehan, atau dengan pelaksanaan ritual agama tertentu. Walaupun pada akhirnya pelaksanaan di tingkat individu dapat disesuaikan dengan belief system atau agama yang dianutnya. Penggunaan istilah spiritual tidak berkaitan dengan agama institusional. Spiritualitas adalah kapasitas bawaan dari otak manusia—spiritualitas berdasarkan struktur-struktur dari dalam otak yang memberi kita kemampuan dasar untuk membentuk makna, nilai, dan keyakinan. Spiritualitas bersifat prakultural dan lebih primer dibandingkan dengan agama. Karena kita punya kecerdasan spirituallah, umat manusia kemudian menganut dan menjalankan sistem keagamaan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh spiritualitas (Zohar dan Marshall, 2005).

Spiritualitas ditempat kerja ini adalah pemanfaatan, penumbuhan, dan pengembangan nilai-nilai ditempat kerja sehingga menjadi spiritual bagi orang-orang yang ada di organisasi. Dengan demikian, orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut “menikmati” segala kelebihan dan kekurangan yang ada dalam pekerjaannya, membuatnya bahagia, membuatnya ingin mengaktualisasikan diri sebaik mungkin, sampai pada akhirnya menjadi lebih produktif dalam menangani berbagai pekerjaan. Namun, karena spiritualitas ini berkaitan dengan nilai-nilai maka akan berkaitan dengan agama, karena agama selalu memberikan nilai-nilai yang harus dianut oleh pemeluknya, (Zohar dan Marshall, 2005) lebih lanjut mengemukakan hal tersebut sebagai berikut.

Walaupun pada akhirnya pelaksanaan di tingkat individu dapat disesuaikan dengan belief system atau agama yang dianutnya. Penggunaan istilah spiritual tidak berkaitan dengan agama institusional. Spiritualitas adalah kapasitas bawaan dari otak manusia—spiritualitas berdasarkan struktur-struktur dari dalam otak yang memberi kita kemampuan dasar untuk membentuk makna, nilai, dan keyakinan. Spiritualitas bersifat prakultural dan lebih primer dibandingkan dengan agama. Karena kita punya kecerdasan spirituallah, umat manusia kemudian menganut dan menjalankan sistem keagamaan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh spiritualitas.

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas memberikan nilai-nilai yang dapat dipahami dan dipegang bersama (contoh: kejujuran, integritas), dan agama memberikan jalan untuk pelaksanaannya di tingkat individu sesuai dengan ajarannya masing-masing. Khusus di dunia bisnis, spiritualitas harus mendorong lahirnya generasi ketiga (Pradiansyah, 2007). Gerenasi pertama disebut sebagai generasi praspiritualitas, yaitu generasi yang percaya bahwa bisnis semata-mata hanya untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, bisnis tidak bersinggungan dan harus dijauhkan dari spiritualitas. Generasi kedua adalah generasi spiritualitas pertama. Generasi yang berusaha menyatukan bisnis dan spiritualitas. Spiritualitas telah diterima dan dalam praktiknya generasi ini telah menyediakan fasilitas, sarana, dan prasarana bagi karyawan untuk beribadah, menyelenggarakan acara keagamaan, menyelenggarakan pelatihan kecerdasan spiritual, dan melaksanakan Corporate Social Responsibility. Spiritualitas dan agama telah hadir di tempat kerja. Masalah yang kemudian muncul adalah generasi kedua hanya menghadirkan spiritualitas, namun tidak menyatukan spiritualitas dengan bisnis. Pradiansyah (2007) menyebut perusahaan seperti ini sebagai perusahaan agamis, bukan perusahaan spiritual, karena spiritualitas dan agama hanya hadir dalam bentuk fisikal, dan sekularisasi bisnis.

Generasi ketiga adalah generasi yang ditunggu. Inilah generasi yang sepenuhnya memahami arti membawa spiritualitas ke ruang kerja. Generasi ini tidak hanya menghadirkan spiritualitas, namun menerapkan nilai-nilai spiriualitas dalam setiap praktik bisnisnya. Generasi ini memberikan makna yang mendalam kepada pekerjaan, seperti memahami nilai bahwa perusahaan ada untuk memberikan kontribusi bagi kemanusiaan sehingga dalam praktiknya perusahaan tidak merusak alam, tidak melakukan korupsi dan penyelewengan, dan berkomitmen memberikan nilai tambah pada kehidupan orang lain.

Ada tiga kategori utama workplace spirituality (Milliman dkk, 2003), yaitu purpose in one’s work atau ”meaningful work”, having a ”sense of community”, dan being in ”alignment with the organization’s values” and mission. Masing-masing kategori tersebut mewakili tiga level dari workplace spirituality, yaitu individual level, group level, dan organizational level.

Meaningful work mewakili level individu. Hal ini adalah aspek fundamental dari workplace spirituality, terdiri dari memiliki kemampuan untuk merasakan makna terdalam dan tujuan dari pekerjaan seseorang. Dimensi ini merepresentasikan bagaimana pekerja berinteraksi dengan pekerjaan mereka dari hari ke hari di tingkat individu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia memiliki motivasi terdalamnya sendiri, kebenaran dan hasrat untuk melaksanakan aktivitas yang mendatangkan makna bagi kehidupannya dan kehidupan orang lain. Bagaimanapun juga, spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai sesuatu yang menyenangkan dan menantang, tapi juga tentang hal-hal seperti mencari makna dan tujuan terdalam, menghidupkan mimpi seseorang, memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup seseorang dengan mencari pekerjaan yang bermakna, dan memberikan kontribusi pada orang lain.

Sense of community mewakili level kelompok. Dimensi ini merujuk pada tingkat kelompok dari perilaku manusia dan fokus pada interaksi antara pekerja dan rekan kerja mereka. Pada level ini spiritualitas terdiri dari hubungan mental, emosional, dan spiritual pekerja dalam sebuh tim atau kelompok di sebuah organisasi. Inti dari komunitas ini adalah adanya hubungan yang dalam antar manusia, termasuk dukungan, kebebasan untuk berekspresi, dan pengayoman.

Aspek fundamental yang ketiga adalah alignment with organizational values yang mewakili level organisasi. Aspek ke tiga ini menunjukkan pengalaman individu yang memiliki keberpihakan kuat antara nilai-nilai pribadi mereka dengan misi dan tujuan organisasi. Hal ini berhubungan dengan premis bahwa tujuan organisasi itu lebih besar daripada dirinya sendiri dan seseorang harus memberikan kontribusi kepada komunitas atau pihak lain.

Mendasarkan pada tiga kategori di atas, tidak mungkin organisasi akan secara otomatis memilikinya. Oleh karena itu organisasi harus mengupayakannya. Organisasi harus mendorong seluruh karyawan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Robbins & Judge dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior menyebutkan budaya spiritualitas yang perlu dibentuk adalah; 1) Strong sense of purpose, meskipun pencapaian keuntungan itu penting, tetapi hal itu tidak menjadi nilai utama dari suatu organisasi dengan budaya spiritual.Karyawan membutuhkan adanya tujuan perusahaan yang lebih bernilai, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk visi dan misi organisasi. 2) Trust and respect, organisasi dengan budaya spiritual senantiasa memastikan terciptanya kondisi saling percaya, adanya keterbukaan dan kejujuran. Salah satunya dalam bentuk manajer dan karyawan tidak takut untuk melakukan dan mengakui kesalahan. 3) Humanistic work practices, jam kerja yang fleksibel, penghargaan berdasarkan kerja tim,mempersempit perbedaan status dan imbal jasa, adanya jaminan terhadap hak-hak individu pekerja, kemampuan karyawan, dan keamanan kerja merupakan bentuk-bentuk praktik manajemen sumber daya manusia yang bersifat spiritual, 4) Toleration of employee expression, Organisasi dengan budaya spiritual memiliki toleransi yang tinggi terhadap bentuk-bentuk ekspresi emosi karyawan. Humor, spontanitas, keceriaan di tempat kerja tidak dibatasi. Saat ini sudah cukup banyak perusahaan yang menerapkan budaya spiritualitas di tempat kerja.

Dengan terbentuknya budaya spiritualitas di tempat kerja, diharapkan akan terbentuk karyawan yang happy, tahu dan mampu memenuhi tujuan hidup. Karyawan yang demikian umumnya memiliki hidup yang seimbang antara kerja dan pribadi, antara tugas dan pelayanan. Pada umumnya, mereka juga memiliki kinerja yang lebih tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan sebuah perusahaan konsultan besar, penerapan lingkungan kerja yang spiritual meningkatkan produktivitas dan menurunkan turn over.

Studi lainnya menunjukkan, karyawan yang kecerdasan spiritualnya tinggi dan didukung lingkungan kerja yang juga spiritual, secara positif menjadi lebih kreatif, memiliki kepuasan kerja yang tinggi, mampu bekerja dengan baik secara tim, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi.

Mendasarkan konsep tersebut maka organisasi akan sangat memiliki keuntungan yang besar jika mampu mengembangkan spiritualitas di tempat kerjanya, namun demikian untuk menumbuhkan spiritualitas di tempat kerja tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Membuat para karyawan paham akan nilai-nilai organisasi, dan kemudian menginternalisasikannya, dan kemudian membuat orang-orang didalam organisasi tersebut secara sukarela menganut dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-harinya merupakan faktor kunci tumbuhnya spiritualitas di tempat kerja. Disinilah letak penting value bagi organisasi, tidak terkecuali lembaga pendidikan.

Tags:

No Comments »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL

Leave a comment