Ruang Lingkup Organisasi Pembelajar

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

Learning Organization meliputi adanya perkembangan yang berkelanjutan dan penyesuaian terhadap perubahan yang ada dan mampu menciptakan tujuan dan/atau pendekatan yang baru. Pembelajaran ini harus menyatu pada cara organisasi menjalankan kegiatannya.

Pembelajaran dalam hal ini berarti:

1.     Bagian dari kegiatan kerja sehari-hari.

2.     Diterapkan pada individu, unit kerja dan perusahaan.

3.     Bersifat mampu memecahkan masalah pada akar penyebabnya.

4.     Fokus pada tersebarnya pengetahuan di seluruh stuktur organisasi

5.    Digerakkan oleh kesempatan untuk mendapatkan perubahan yang signifikan dan mengerjakan dengan lebih baik.

Sumber-sumber pengetahuan dan pembelajaran ini bisa berasal dari gagasan dan pendapat para karyawan, research & development (R&D), masukan dari para pelanggan, saling tukar/bagi pengalaman dan benchmarking(perbandingan). Learning Oganization mencakup banyak hal, terutama pada individu dalam organisasi misalnya, karyawan dalam perusahaan.

Keberhasilan karyawan sangat tergantung pada diperolehnya kesempatan untuk mempelajari dan mempraktekkan hal dan keahlian yang baru. Perusahaan berinvestasi pada pendidikan, pelatihan dan berbagai kesempatan lain yang diberikan pada para karyawannya untuk tumbuh dan berkembang. Kesempatan tersebut dapat berupa rotasi pekerjaan, kenaikan gaji pada karyawan yang berprestasi dan/atau terlatih. On-the-job training merupakan suatu cara yang efektif untuk melatih dan menarik garis hubungan yang lebih baik antara kepentingan dan prioritas perusahaan. Program pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan pada teknologi tingkat lanjut seperti pelatihan berbasis pada komputer dan internet dan saluran udara via satelit.

Learning Organization pun mencangkup kedalam hal berikut ini

1.      Learning Culture – terciptanya iklim organisasi yang menghasilkan suasana pembelajar yang kental. Karakteristik ini dekat dengan adanya inovasi.

2.      Processes – adalah proses yang mendorong adanya interaksi di luar batas organisasi tersebut, ada infrastruktur, proses pengembangan dan

3.      Tools and Techniques – metode-metode yang dapat digunakan bagi seorang individu dan kelompok, seperti kreativitas dan teknik pemecahan masalah.

4.      Skills and Motivation – untuk belajar dan beradaptasi.

Dengan demikian pembelajaran bukan sekedar peningkatan kualitas produk dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi. Namun juga, peningkatan lingkungan kerja yang lebih tanggap terhadap situasi, adaptif, inovatif dan efisien yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja dan semakin memperkuat posisi organisasi

Tags:

case 1 : organizational learning

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

Banyak hal tiba-tiba terjadi akhir-akhir ini berkaitan dengan masalah kesejahteraan rakyat Indonesia seperti gejolak kenaikan minyak goreng dan susu, wabah penyakit, kebakaran, kejadian bencana alam dan lain-lain, yang menuntut adanya reaksi cepat dari aparat agar gejolak tersebut tidak menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan keamanan, yang dapat mengancam stabilitas nasional. Dalam kejadian darurat tersebut pada umumnya perempuan dan anak yang paling menderita, sehingga perlu segera mendapatkan bantuan pelayanan untuk tanggap darurat, pemulihan dan pemberdayaan agar dapat segera bekerja dan berusaha kembali seperti semula.

Dalam salah satu unit kerja lembaga pemerintah yang berkepentingan untuk mengkoordinasikan masalah kualitas hidup perempuan, kesejahteraan keluarga dan anak, kesempatan kerja perempuan dan ekonomi keluarga, serta perlindungan perempuan anak, sebagai suatu unit kerja yang berfungsi menguatkan, menjembatani dan memfasilitasi kementerian, lembaga swasta, dan lembaga masyarakat, berdasarkan pengamatan dan observasi selama ini, terdapat isu-isu stratejik organisasi yang berkaitan dengan: (1) disiplin mental model, dan (2) disiplin team learning.

Disiplin mental model aparat unit kerja tersebut yang datang dari berbagai latar belakang instansi asal (BPS, BKKBN, Dinas DKI, Dep. Transmigrasi dan lain-lain) telah mempengaruhi keterbukaan dan kerjasama antara aparat satu dengan lainnya, sehingga beberapa kegiatan yang memerlukan gerak cepat seringkali tidak ditanggapi dengan seharusnya.

Disiplin team learning aparat unit kerja tersebut dengan jumlah aparat hanya 16 orang dengan berbagai disiplin ilmu dan pengalaman, serta dengan beban kerja yang cukup besar, telah mempengaruhi ketersediaan waktu untuk melakukan praktek pembelajaran baik berupa dialog terpadu maupun diskusi. Hal ini menyebabkan tidak adanya upaya-upaya inovatif untuk meningkatkan kinerja organisasi, bahkan berbagai hal yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman, masih belum ditinggalkan yang menyebabkan kinerja organisasi menjadi tidak optimal.

Solusi Pemecahan

Alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi isu-isu stratejik sebagaimana tersebut di atas adalah:

a.    Mengusulkan kepada Atasan agar aparat dapat diikutsertakan dalam Diklatpim atau mengadakan training terbatas mengenai Organisasi Pembelajar.

b.   Mengalokasikan waktu bagi aparat untuk praktek mental model dan membuka diri satu dengan lainnya untuk meningkatkan hubungan kerja yang saling menguatkan.

c.     Mengalokasikan waktu bagi aparat untuk praktek team learning sehingga dapat menerima hal baru dan meninggalkan hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

Untuk mendapatkan leverage bagi pemecahan masalah yang ada, diperlukan adanya kajian dan analisis yang lebih mendalam.

Tags:

Inti dari organisasi pembelajaran adalah  system thinking, di mana di dalamnya anggota organisasi diajak berpikir bahwa seluruh tindakan anggota organisasi akan berdampak pada sistem, sebaliknya apa yang terjadi dalam sistem akan berdampak pula pada anggota organisasi. Dalam ruang lingkup organisasi,  system thinking akan membangkitkan  sense of belonging terhadap organisasi, di mana seseorang akan termotivasi untuk memajukan organisasinya, tidak akan membiarkan sesuatu menghalangi kesuksesan organisasinya karena kelangsungan organisasi akan menentukan kelangsungan eksistensi dirinya. Hal inilah yang kemudian menjadi energi terbesar dalam organisasi untuk terus maju dan berkembang seiring dengan perubahan zaman.

Permasalahannya sekarang adalah, mungkinkah model organisasi pembelajaran tersebut diterapkan dalam kerangka pembaharuan birokrasi pemerintahan daerah, mengingat birokrasi pemerintah daerah berbeda dengan organisasi privat/swasta karena ukurannya yang relatif besar dan cenderung hirarkhis, sehingga sulit untuk mengikuti perubahan zaman dengan cepat. Apalagi jika dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang turut bermain dalam lingkup birokrasi tersebut, sehingga keinginan untuk berubah atau menerapkan  system thinking dalam birokrasi pemerintahan seringkali terbentur pada konflik kepentingan.

Selain itu, birokrasi pemerintahan daerah merupakan organisasi non profit sehingga keberhasilan organisasi sulit diukur, sense of belonging sulit terwujud karena bekerja dengan baik ataupun jelek tidak akan berdampak pada  reward  maupun punishment. Ada pepatah dalam birokrasi yang mengatakan bahwa pintar atau bodoh toh gajinya sama. Atau anekdot 704 yang merupakan singkatan dari masuk pukul 7 pagi, pulang pukul 4 sore, di tengah-tengah jam kerja kosong (karena berada di luar contoh ini adalah hal riil yang terjadi dan menunjukkan betapa mekanisme reward and punishment tidak berjalan dalam birokrasi pemerintahan. Budaya kerja semacam ini tidak mendorong PNS untuk semakin kreatif, inovatif, ataupun berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya. Kriteria promosi pun menjadi tidak pasti sehingga promosi seringkali diidentikan dengan kedekatan seseorang dengan orang-orang tertentu dalam organisasi. Hal semacam ini justru menjadi pembelajaran yang negatif, yang pada akhirnya memberikan kesan buruk terhadap organisasi tersebut karena masyarakat sebagai pengguna jasa juga akhirnya merasakan ketidakprofesionalan birokrasi yang ditandai dengan kelambanan, longgarnya pengawasan,  peluang penyimpangan dalam bentuk KKN, dan berbagai patologi birokrasi lainnya.

Sekalipun birokrasi sebagai organisasi publik yang bersifat non profit memiliki karakteristik yang berbeda dengan organisasi privat, namun bukan berarti bahwa model organisasi pembelajaran tidak mungkin diterapkan. Yang perlu dilakukan adalah melakukan adaptasi terhadap model ini, khususnya dengan menerapkan nilai-nilai organisasi pembelajaran untuk memecahkan patologi birokrasi.

Tags:

Aplikasi Model Organisasi Pembelajaran dalam Birokrasi Pemda

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

Budaya kerja korporat yang ditandai dengan semangat profesionalisme perlu diwadahi dalam model organisasi yang sesuai, sehingga semangat tersebut dapat terus dikembangkan. Apalagi jika dikaitkan dengan tantangan global yang menuntut agar organisasi publik, termasuk pula birokrasi pemerintah daerah menjadi semakin ramping, efektif, efisien, serta responsif. Model organisasi hirarkhis dengan sistem komando terpusat semakin dirasakan tidak memadai lagi untuk mengikuti cepatnya laju perkembangan masyarakat.

Organisasi yang responsif perlu diimbangi dengan pergeseran kerangka pikir dalam memandang organisasi. Dalam kajian-kajian klasik, organisasi dipandang sebagai alat bagi sekelompok orang untuk mencapai tujuan, di mana di dalamnya terdapat pembagian kerja dan struktur jabatan. Organisasi tidak dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, yang dapat berubah mengikuti perkembangan zaman. Namun, sejalan dengan berkembangnya kajian-kajian mengenai organisasi, muncul pemahaman baru bahwa manusia adalah pendukung utama setiap organisasi, apa pun bentuknya. Perilaku manusia yang berada dalam suatu organisasi adalah awal yang menentukan bagaimana organisasi berproses untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, mulai terjadi perubahan mendasar dalam konsep nilai-nilai organisasi, yakni dinamika organisasi mulai didasarkan pada kemanusiaan yang menghapuskan sifat-sifat depersonalisasi dari mekanisme organisasi.

Perubahan ini kembali menempatkan faktor manusia sebagai faktor kunci dalam perkembangan organisasi. Dalam konteks globalisasi, organisasi semakin dituntut untuk memiliki daya saing sehingga otomatis penguasaan ilmu pengetahuan menjadi kata kunci bagi organisasi (termasuk birokrasi pemerintah) untuk dapat bertahan dan mengembangkan dirinya. Berangkat dari konteks inilah, berkembang  model organisasi pembelajaran (learning organization) sebagai alternatif bentuk organisasi yang dapat bertahan hidup dalam era globalisasi yang diidentikan dengan situasi yang cepat berubah (dinamis).

Organisasi pembelajaran didefinisikan sebagai  organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive pattern of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people continually learning how to learn together. Dalam pengertian ini, keunggulan personal dikaitkan dengan karakteristik  individu yang selalu ingin mengembangkan kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang diinginkan. Model mental dan tim pembelajaran muncul ketika individu tersebut berhadapan dengan individu lain, mengemukakan pendapatnya dengan berdialog dan berdiskusi memperluas wawasan yang pada akhirnya berpengaruh pada bagaimana individu-individu tersebut mengubah perilakunya. Dengan adanya kesamaan pendapat dan tujuan yang dirangkum melalui dialog dan diskusi, menjadikan adanya kesamaan visi antaranggota dalam organisasi.

Dan pada akhirnya model berpikir kesisteman yang digunakan seseorang untuk menjadikan pola-pola kerja lebih jelas, dan untuk membantu organisasi untuk mengubah pola-pola tersebut secara efektif.

Tags:

Mengembangkan Budaya Kerja Korporat

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

Globalisasi tampaknya menjadi faktor penting yang memicu terjadinya perubahan dalam hampir seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk juga perubahan budaya organisasi. Perubahan yang dimaksud adalah transformasi nilai-nilai yang terkandung dalam suatu organisasi, baik organisasi  privat maupun organisasi publik.

Secara khusus, dalam organisasi pemerintahan, berkembang tuntutan peralihan peran pemerintah dari regulator dan bersikap birokratik, menjadi pelayan masyarakat yang mengedepankan kesejahteraan, dan pengelolaan yang berbasiskan kewirausahaan (inovatif, kreatif, dan terbuka terhadap kemajuan).

Untuk mengantisipasi pergeseran peran inilah, maka organisasi pemerintah perlu melakukan transformasi budaya, khususnya budaya kerja sebagai inti penggerak kinerja birokrasi pemerintah. Budaya adalah suatu set nilai, penuntun kepercayaan akan suatu hal, pengertian, dan cara berpikir yang dipertemukan oleh para anggota organisasi dan diterima oleh anggota baru seutuhnya. Tujuan keberadaan budaya suatu organisasi adalah melengkapi para anggota dengan rasa (identitas) organisasi dan menimbulkan komitmen terhadap nilai-nilai yang dianut organisasi. Nilai-nilai dasar dan keyakinan adalah fondasi dari identitas organisasi. Nilai merupakan sesuatu yang memaknai jati diri seseorang sebagai anggota suatu organisasi dalam segala keadaan. Sedangkan keyakinan adalah sesuatu yang dipercayai bersama. Kedua hal inilah yang mengikat dan menjadi dasar bagi komitmen para anggota suatu organisasi.

Budaya kerja dibangun di atas dasar komitmen berupa nilai dan keyakinan untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam setiap organisasi, kerja menjadi inti dari berfungsinya suatu organisasi. Kinerja disimbolkan  dalam bentuk tugas-tugas, fungsi, aliran kegiatan, prosedur, metode, standar yang harus dipenuhi, serta ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan di sekitarnya. Model organisasi birokrasi yang ideal menghendaki adanya pembagian tugas ke dalam struktur-struktur dan jabatan-jabatan dengan fungsi yang terspesialisasi. Namun, bukan ketersediaan struktur yang akan menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi, melainkan ketersediaan perekat yang mengikat organisasi. Perekat organisasi itulah yang disimbolkan dengan nilai dan keyakinan para anggota organisasi.

Organisasi yang mampu menghadapi tantangan perubahan yang serbacepat dan serba tidak terduga, adalah organisasi yang memiliki daya rekat dan komitmen yang tinggi. Dalam konteks inilah, berkembang konsep mengenai budaya korporat (corporate culture) sebagai bentuk budaya kerja yang menjunjung tinggi profesionalisme. Budaya korporat sebagai bentuk budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja anggota organisasi.

Dengan demikian, dalam budaya korporat tercakup sistem nilai, keyakinan, dan kebiasaan bersama dalam organisasi yang berinteraksi dengan struktur formal untuk menghasilkan norma perilaku bagi anggota organisasi bahkan nantinya diturunkan pada anggota-anggota berikutnya. Komitmen seluruh anggota organisasi, dimulai dari pemimpin puncak hingga lapis terbawah merupakan prasyarat mutlak untuk tetap terpeliharanya budaya korporat. Komitmen yang dimaksud bukan sekedar keterkaitan secara fisik, struktural, atau sektoral, melainkan  juga secara mental dalam bentuk kesamaan visi dan misi.

Anggota organisasi yang sudah memahami keseluruhan  nilai-nilai organisasi akan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai suatu kepribadian organisasi. Internalisasi budaya kerja korporat dapat meminimalkan penyimpangan sekaligus mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi yang cepat berubah. Hal ini sangat menentukan bagi organisasi dan individu-individu dalam menjalankan kegiatan dan berinteraksi dengan lingkungan, serta dalam cara-cara mengelola personil secara internal atau hubungan atasan-bawahan

Tags:

Bagaimana Membangun Learning Organization yang Tangguh?

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

Pertanyaan yang muncul adalah apa yang mesti dilakukan untuk membangun learning organization yang tangguh? Dalam hal ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan membangun iklim dialog dan knowledge sharing yang kuat. Elemen ini penting sebab proses pembelajaran tidak akan pernah bisa berlangsung jika tidak ada komitmen yang kokoh diantara para karyawan apapun levelnya, untuk bertukar gagasan dan pengetahuan, baik secara formal learning maupun melalui proses informal learning. Proses informal learning ini layak disebut, sebab berdasar riset, kegiatan ini memiliki peran yang amat signifikan dalam mengembangkan kemampuan belajar organisasi dan bahkan lebih efektif dibanding proses formal learning melalui kegiatan semacam in-class training.

Menurut Prijono Tjiptoherijanto (2004: 29-31) ada beberapa persyaratan yang diperlukan agar tercipta dialog yang baik yang dikenal dengan istilah VICTORI yaitu: Valid Information (jangan ada informasi yang tidak benar, semuanya harus transparan), Choise (masing-masing bebas untuk memberi penafsiran), Trust (masing-masing pihak harus saling percaya), Oppenes (semuanya harus membuka diri terhadap ide anggota lainnya), Responsibility (semaunya harus bertanggung jawab terhadap komitmen bersama), dan Involvement (semua harus terlibat dan berkontribusi sesuai kemampuannya dalam proses learning).

Kunci utama pelaku knowledge sharing adalah manusia. Keuntungan dari orang yang berbagi knowledge adalah mereka mampu merespon kesempatan secara cepat. Inovasi dapat dicaptakan bukan bersifat reinventing the wheel, agar mencapai sukses di bisnis secara cepat dan biaya murah. Menurut David J. Skryme dalam Bambang Setiarso (2006) bahwa salah satu tantangan knowledge management adalah menjadikan manusia berbagi knowledge mereka. Untuk menghadapi tantangan tersebut David J. Skryme menyarankan tiga C yaitu: Culture, Co-opetition (menyatukan kerja sama dengan persaingan), dan Commitment.

Penumbuhan iklim learning juga harus dibarengi dengan penciptaan mekanisme atau infrastruktur yang dapat mendorong agar kegiatan proses learning di antara para karyawan bisa berlangsung lebih terpadu. Di sini, peran knowledge management menjadi amat kritikal; sebab melalui mekanisme inilah proses pembelajaran dan akumulasi pengetahuan yang tersebar di antara segenap karyawan bisa dikelola secara efektif dan didesain agar selaras dengan arah strategi perusahaan. Carl Davidson dan Philip Voss (2003) mengatakan bahwa mengelola knowledge sebenarnya merupakan bagaimana organisasi mengelola staf; knowledge management adalah bagaimana orang-orang dari berbagai tempat yang berbeda mulai saling bicara, yang sekarang populer dengan label learning organization.

Tags:

Karakteristik Learning Organization

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

Megginson dan Pedler (Dale, 2003) memberikan sebuah panduan  mengenai konsep organisasi pembelajaran, yaitu “Suatu ide atau metaphor yang dapat bertindak sebagai bintang penunjuk. Ia bisa membantu orang berpikir dan bertindak bersama  menurut apa maksud gagasan semacam ini bagi mereka sekarang dan di masa yang akan datang. Seperti halnya semua visi, ia bisa membantu  menciptakan kondisi di mana sebagian ciri-ciri organisasi pembelajarna dapat  dihasilkan”. Kondisi-kondisi tersebut adalah:

  1. Strategi pembelajaran;
  2. Pembuatan kebijakan partisipatif;
  3. Pemberian informasi (yaitu teknologi informasi digunakan untuk menginformasikan dan memberdayakan orang untuk mengajukan pertanyaan dan mengambil keputusan berdasarkan data-data yang  tersedia);
  4. Akunting formatif (yaitu sistem pengendalian disusun untuk membantu belajar dari keputusan);
  5. Pertukaran internal;
  6. Kelenturan penghargaan;
  7. Struktur-struktur yang memberikan kemampuan;
  8. Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan;
  9. Pembelajaran antar perusahaan;
  10. Suasana belajar;
  11. Pengembangan diri bagi semua orang

Meskipun suatu organisasi melakukan semua hal di atas, tidak otomatis suatu organisasi  menjadi learning organization. Perlu dipastikan bahwa tindakan-tindakan tidak dilakukan hanya berdasarkan kebutuhan. Tindakan-tindakan tersebut harus  ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari-hari yang rutin dan normal.  Strategi pembelajaran bukan sekedar strategi pengembangan sumber daya  manusia. Dalam learning organization, pembelajaran menjadi inti dari semua  bagian operasi, cara berperilaku, dan sistem.

Tags:

learning organzation (part2)

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

Berdasarkan hasil penelitian Tjakraatmaja (2002) dihasilkan temuan bahwa untuk membangun LO dibutuhkan tiga pilar yang saling mendukung, yaitu (1) pembelajaran individual (individual learning), (2) jalur transformasi pengetahuan, dan (3) pembelajaran organisasional (organizational learning). Proses pembelajaran diawali dengan individual learning untuk memahami potensi diri, yang merupakan proses akumulasi pengetahuan individu untuk menghasilkan keahlian/kemahiran pribadi (personel mastery). Individual learning didapatkan melalui pendidikan, pelatihan, dan kesempatan berkembang yang membuat individu tumbuh. Pilar transformasi pengetahuan berfungsi sebagai alat untuk munculnya proses transformasi pengetahuan (kompetensi) melalui proses berbagi pengetahuan di antara anggota-anggota organisasi. Pilar organizational learning adalah suatu pilar untuk menghasilkan intellectual capital yang mampu memberikan value added bagi organisasi. Organizational learning dapat dikatakan sebagai suatu wadah untuk membangun kelompok manusia yang memiliki kompetensi yang beragam dan mampu melaksanakan kerjasama, sehingga mampu untuk berbagi visi, knowledge, untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi intellectual capital. Pembelajaran organisasi dicapai melalui riset dan pengembangan, evaluasi dan perbaikan siklus, ide dan input dari karyawan dan pelanggan, berbagai praktik terbaik dan benchmark.

Neffe (2001) menyimpulkan beberapa elemen yang harus ada dalam learning organization, yaitu:

a.       The learning process. Elemen ini merupakan bagian integral dari hamper semua definisi.

b.      Knowledge acquisition or generation. Elemen ini menunjuk bahwa proses pembelajaran sebagai incorporating pengetahuan dari luar organisasi dan creating pengetahuan dari dalam, paling banyak melalui trial and error. Elemen ini dinyatakan oleh Huber, Dixon, dengan menyebut knowledge acquisition dan Nonaka & Takeuchi dengan menyebut knowledge generation

c. Individual Learning. Elemen ini dimasukkan sebagai prerequisite pembelajaran organisasi seperti yang dinyatakan oleh Argyris & Schon dan Pawlowsky.

d.      Teams Learning. Elemen ini dimasukkan berdasarkan pertimbangan bahwa beberapa penulis, Senge, Dixon, Pawlowsky, menyebutkan bahwa team learning sebagai faktor penting terjadinya pembelajaran organisasi.

e.       Organizational knowledge. Elemen ini dinyatakan oleh mayoritas penulis dan menjadi sufficient condition untuk terjadinya organizational actions.

Tags:

learning organization (part1)

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

Peter Senge (1999) mengemukakan bahwa di dalam organisasi pembelajaran (Learning Organization) yang efektif diperlukan 5 dimensi yang akan memungkinkan organisasi untuk belajar, berkembang, dan berinovasi yakni: Personal Mastery, Mental Models, Shared Vision, Team Learning, dan System Thinking.

a. Personal Mastery

Personal mastery yaitu kemampuan untuk secara terus menerus dan sabar memperbaiki wawasan agar objektif dalam melihat realitas dengan pemusatan energi pada hal-hal yang strategis. Organisasi pembelajaran memerlukan karyawan yang memiliki kompetensi yang tinggi, agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan, khususnya perubahan teknologi dan perubahan paradigma bisnis dari paradigma yang berbasis kekuatan fisik ke paradigma yang berbasis pengetahuan. Bilamana pekerja tidak mau belajar hal baru, maka dia akan kehilangan pekerjaan. Selain itu banyak pekerjaan yang ditambahkan  pada satu pekerjaan (job-enlargement) atau job rotation (mutasi karyawan) agar memudahkan karyawan untuk memahami kegiatan di unit kerja yang lain demi terwujudnya sinergi. Oleh karena itu karyawan harus belajar hal-hal baru. Untuk memenuhi persyaratan perubahan dunia kerja seperti sekarang ini, semua pekerja di sebuah organisasi harus memiliki kemauan dan kebiasaan untuk meningkatkan kompetensi dirinya dengan terus belajar. Kompetensi dirinya bukan semata-mata di bidang pengetahuan, tetapi kemampuan berinteraksi dengan orang lain, menyelesaikan konflik, dan saling mengapresiasi pekerjaan orang lain.

b. Mental Model

Mental model dapat dikatakan sebagai suatu proses menilai diri sendiri untuk memahami, asumsi, keyakinan, dan prasangka atas rangsangan yang muncul. Mental model memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat. Namun, dalam organisasi yang terus berubah, mental model ini kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik dan menghambat adaptasi yang dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajar, mental model ini didiskusikan, dicermati, dan direvisi pada level individual, kelompok, dan organisasi.

c. Shared Vision

Shared vision yaitu komitmen untuk menggali visi bersama tentang masa depan secara murni tanpa paksaan. Oleh karena organisasi terdiri atas berbagai orang yang berbeda latar belakang pendidikan, kesukuan, pengalaman serta budayanya, maka akan sangat sulit bagi organisasi untuk bekerja secara terpadu kalau tidak memiliki visi yang sama. Selain perbedaan latar belakang karyawan, organisasi juga memiliki berbagai unit yang pekerjaannya berbeda antara satu unit dengan unit lainnya. Untuk menggerakkan organisasi pada tujuan yang sama dengan aktivitas yang terfokus pada pencapaian tujuan bersama diperlukan adanya visi yang dimiliki oleh semua orang dan semua unit yang ada dalam organisasi.

d. Team Learning

Team learning yaitu kemampuan dan motivasi untuk belajar secara adaptif, generatif, dan berkesinambungan. Kini makin banyak organisasi berbasis tim, karena rancangan organisasi dibuat dalam lintas fungsi yang biasanya berbasis team. Kemampuan organisasi untuk mensinergikan kegiatan tim ini ditentukan oleh adanya visi bersama dan kemampuan berfikir sistemik seperti yang telah diuraikan di atas. Namun demikian tanpa adanya kebiasaan berbagi wawasan sukses dan gagal yang terjadi dalam suatu tim, maka pembelajaran organisasi akan sangat lambat, dan bahkan berhenti. Pembelajaran dalam organisasi akan semakin cepat kalau orang mau berbagi wawasan dan belajar bersama-sama. Oleh karena itu, semangat belajar dalam tim, cerita sukses atau gagal suatu tim harus disampaikan pada tim yang lainnya. Berbagi wawasan pengetahuan dalam tim menjadi sangat penting untuk peningkatan kapasitas organisasi dalam menambah modal intelektualnya

e. System Thinking

Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus bekerja sama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Unit-unit itu antara lain ada yang disebut divisi, direktorat, bagian, atau cabang. Kesuksesan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan secara sinergis. Kemampuan untuk membangun hubungan yang sinergis ini hanya akan dimiliki kalau semua anggota unit saling memahami pekerjaan unit lain dan memahami juga dampak dari kinerja unit tempat dia bekerja pada unit lainnya. Seringkali dalam organisasi orang hanya memahami apa yang dikerjakan dan tidak memahami dampak dari pekerjaannya dia pada unit lainnya. Selain itu seringkali timbul fanatisme seakan-akan hanya unitnya sendiri yang penting perannya dalam organisasi dan unit lainnya tidak berperan sama sekali. Fenomena ini disebut dengan ego-sektoral. Kerugian akan sangat sering terjadi akibat ketidakmampuan untuk bersinergi satu dengan lainnya, pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Terlepas dari adanya perasaan bahwa unit diri sendiri adalah unit yang paling penting, tidak adanya pemikiran sistemik ini akan membuat anggota perusahaan tidak memahami konteks keseluruhan dari organisasi. Kini semakin banyak organisasi yang mengandalkan pada struktur tanpa batas (boundaryless organization), yaitu suatu paradigma yang menyatakan bahwa dalam organisasi sangat sedikit batas-batas antar orang, tugas, proses, tempat yang semua itu ditujukan untuk lebih focus pada eksplorasi ide, keputusan, informasi, dan bakat seseorang (Ashkenas et al. dalam Meika Kurnia, 2002). Atau jika suatu organisasi masih menggunakan struktur organisasi berbasis fungsi, kini fungsi-fungsi yang terkait dengan proses yang sama dibuat saling melintas batas fungsi; organisasi yang demikian disebut organisasi lintas fungsi atau cross-functional organization. Organisasi-organisasi yang demikian ini akan membuat proses pembelajaran lebih cepat karena masing-masing orang dari fungsi yang berbeda akan berbagi pengetahuan dan pengalamannya dan akan mempercepat proses pembelajaran individu (individual learning) di dalam organisasi terkait.

Kelima dimensi dari Peter Senge tersebut perlu dipadukan secara utuh, dikembangkan dan dihayati oleh setiap anggota organisasi, dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Kelima dimensi organisasi pembelajaran ini harus hadir bersama-sama dalam sebuah organisasi untuk meningkatkan kualitas pengembangan SDM, karena mempercepat proses pembelajaran organisasi dan meningkatkan kemampuannya untuk beradaptasi pada perubahan dan mengantisipasi perubahan di masa depan.

Knowledge Management part2

Posted in: Uncategorized by lisbethchrisna on October 4, 2010

Dalam buku yang ditulis oleh Von Krough, Ichiyo, serta Nonaka (2000), dan Chun Wei Choo, (1998), disampaikan ringkasan gagasan yang mendasari pengertian knowledge adalah sebagai berikut:

(1). Knowledge merupakan kepercayaan yang dapat dipertanggungjawabkan (justified true believe);

(2). Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus terpikirkan (tacit);

(3). Penciptaan inovasi secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut;

(4). Penciptaan inovasi .

Carl Davidson dan Philip Voss (2003) mengatakan bahwa mengelola knowledge sebenarnya merupakan bagaimana organisasi mengelola staf mereka dari pada berapa lama mereka menghabiskan waktu untuk teknologi informasi. Sebenarnya menurut mereka bahwa “  knowledge management” adalah bagaimana orang-orang dari berbagai tempat yang berbeda mulai saling berbicara. Oleh karena itu yang sekarang popular untuk digunakan adalah label informasi ekonomi seperti: e-commerce, learning organization, dsb.

Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) keberhasilan perusahaan Jepang ditentukan oleh keterampilan dan kepakaran mereka dalam penciptaan  knowledge  organisasinya (  organizational knowledge creation).

Penciptaan  knowledge tercapai melalui pemahaman atau pengakuan terhadap hubungan  synergistic  dari tacit  dan  explicit knowledge  dalam organisasi, serta melalui desain dari proses sosial yang menciptakan knowledge baru dengan mengalihkan dari  tacit knowledge  ke dalam  explicit knowledge,  hal ini berarti melakukannya berdasarkan learning process.

Dengan demikian, pengertian knowledge disini adalah pengetahuan, pengalaman, informasi faktual dan pendapat para pakar. Organisasi perlu terampil dalam mengalihkan tacit knowledge ke explicit knowledge dan kembali ke tacit  yang dapat mendorong inovasi dan pengembangan produk baru. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) perusahaan Jepang mempunyai daya saing karena mereka memahami bahwa knowledge merupakan sumber dari daya saing,  knowledge  ini harus dikelola (managed),  karena harus direncanakan dan diimplementasikan. Untuk mencapai budaya institusi yang inovatif, maka upaya membangun knowledge sharing  ( berbagi knowledge) perlu dilakukan. Kunci utama pelaku knowledge sharing adalah manusia. Keuntungan dari orang yang berbagi  knowledge, adalah mereka mampu merespon kesempatan secara cepat, inovatif dapat diciptakan bukan bersifat reinventing the wheel, agar mencapai sukses di bisnis secara cepat dan biaya murah.

Kaisa menekankan pentingnya  budaya lingkungan apabila membangun program  knowledge management, Dia mengatakan bahwa: “  success is based more on a human driven approach and deep integration rather than technology approach”. Oleh karena itu, nilai dan kepercayaan, motivasi dan commitment, serta insentif (reward) untuk knowledge sharing merupakan bagian dari lingkungan budaya.

Hubungan antara pribadi dengan organisasi juga ditekankan oleh banyak pembicara. Beberapa pembicara yang merupakan wakil dari berbagai perusahaan mengatakan bahwa learning merupakan fokus dari strategi.

Wakil perusahaan tersebut adalah dari Rover Group (Collin Jones) mereka mengatakan bahwa sebagai bagian dari  knowledge management strategy,  Rovernet mengatakan bahwa  intranet  merupakan bagian yang sangat membantu mereka dalam mengaplikasikan  learning dan share best practice mereka. General Motors (Wendy Coles) memberikan gambaran tentang hubungan di antara knowledge sharing dan strategi.

Perspektif dari  Shell Exploration and Production salah satunya adalah  learning organization  yang menuju living company yang merupakan kombinasi: 1). sensitivitas terhadap lingkungan operasi; 2) kohesif dan identitas; 3).toleransi dan desentralisasi. Menurut David J.Skryme ( dalam the 3Cs of  knowledge sharing  (http://www.skyrme.com/updates/u64 fl.htm) bahwa salah satu tantangan knowledge management adalah menjadikan manusia berbagi  knowledge  mereka. Untuk menghadapi tantangan tersebut dia menyarankan tiga C yaitu :  Culture, Co-opetition  (menyatukan kerjasama dengan persaingan) dan Commitment. Perubahan budaya tidak mudah dan membutuhkan waktu, beberapa kegiatan yang mungkin digunakan untuk merencanakan dan mengenalkan perubahan yaitu: audit budaya, untuk menjawab tantangan dari perilaku “ yang tidak benar” , keterlibatan, menggunakan role mode, team building, reward  dan mengubah manusia dengan memindahkan orang-orang dalam knowledge share.

Banyak organisasi  belum atau tidak mengetahui potensi  knowledge  (pengetahuan + pengalaman) tersembunyi yang dimiliki oleh karyawannya, mengapa demikian ? Riset Delphi Group  menunjukkan bahwa knowledge dalam organisasi tersimpan dengan struktur :

– 42 %    dipikiran (otak) karyawan;

– 26 %    dokumen kertas;

– 20 %    dokumen elektronik;

– 12%     knowledge base elektronik.

Bagaimana di kita ? fakta umum ini memang terjadi dimana-mana, bahwa asset  knowledge sebagian besar tersimpan dalam pikiran kita, yang disebut tacit knowledge . Tacit knowledge adalah sesuatu yang kita ketahui dan alami, namun sulit untuk diungkapkan secara jelas dan lengkap. Tacit knowledge sangat sulit dipindahkan kepada orang lain karena knowledge  tersebut tersimpan pada pikiran masing-masing individu dalam organisasi. Knowledge Management ada untuk menjawab persoalan ini, yaitu proses mengubah tacit knowledge menjadi knowledge yang mudah dikomunikasikan dan mudah didokumentasikan, yang disebut explicit knowledge .

Dokumentasi menjadi sangat penting dalam knowledge management, karena tanpa dokumentasi semuanya akan tetap menjadi  tacit knowledge  dan  knowledge  itu menjadi sulit untuk diakses oleh siapapun dan kapanpun dalam organisasi.

Tags:
« Older PostsNewer Posts »